Laman

Jumat, 18 Juli 2014

Ralat

Semalam, Fulan mengabarkan bahwa ada seorang pejabat tinggi di negeri Antakabul, tertangkap tangan akibat menerima suap dari calon pemimpin kubu partai Asu. Menurut Fulan, informasi ini eksklusif, langsung didapat dari juru bicara lembaga detektif flamboyan ternama negeri itu.

Syahdan berita itu geger. Gegap gempita terjadi di seantero Antakabul, yang luasnya sejauh pandangan mata. Entah kegegeran itu membicarakan apa, yang jelas berita tentang tangkap tangan telah menjadi isu utama, yang disebarkan oleh monyet-monyet penyebar berita.

Beberapa jam kemudian, di antara orang-orang yang geger oleh berita itu, ada seseorang yang khilaf. Ia langsung mencari Fulan untuk meminta keterangan lebih jauh. Sayang, Fulan menghilang. Entah menghilang kemana.

Seseorang yang sadar itu tak mau menyerah. Ia melihat ke tempat si Fulan terakhir terlihat. Ada yang aneh, pikirnya. Di tempat itu ada sebuah lubang yang belum tertutup belum rapat. Ia mendekat dan mencoba menggali lubang itu.

Tak ada pacul, batang kayu pun jadi. Batang kayu yang diambil orang itu dari sembarang tempat diarahkannya tepat ke atas gundukan tanah yang tersusun tidak sempurna. Sementara di bawah gundukan itu, di bawah tanah, kasak-kusuk orang kebingungan semakin terdengar. Mereka melihat batang kayu yang semakin dalam menggali. Suara-suara bersembunyi. Suara orang-orang panik.

Orang itu akhirnya menemukan Fulan. Fulan keluar dari bawah gundukan tanah itu, dan berucap kepada orang di sampingnya, “Tolong beritahu orang-orang, rakyat Antakabul, yang tadi sudah geger dan gegap gempita, bahwa informasi tentang tangkap tangan itu masih belum jelas. Detektif sendiri belum mau mengungkapnya.”

“Lantas mengapa tadi kau sebarkan informasi itu,” tanya orang itu.

“Maaf, tadi aku khilaf, bung. Tapi tolonglah, demi reputasiku sebagai penyebar syiar panji-panji kebenaran.”

“Baiklah. Nanti akan kusampaikan ralat darimu, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Orang tua itu berjalan menuju kerumunan, sementara Fulan kembali menghilang.

Mengarungi Sore

Sore itu, semilir angin menyejukan wajah yang penuh peluh
Matahari sudah terlalu sayu untuk menyinari
Warna akan lekas bertukar dengan cepatnya
Riuh rendah mesin telah diganti dengan orkestra jangkrik

Sore yang indah......... semoga tak lagi berkaca-kaca
Engkau mungkin masih menunggu di tempat biasa
Ah sudahlah, itu sudah berlalu
seperti petang yang akan hilang sebentar lagi

Mengarung sore yang indah.......
Sendiri saja, tak mengapa
Ah engkau kembali datang
Aku pulang