Semalam, Fulan mengabarkan bahwa ada seorang pejabat tinggi
di negeri Antakabul, tertangkap tangan akibat menerima suap dari calon pemimpin
kubu partai Asu. Menurut Fulan, informasi ini eksklusif, langsung didapat dari
juru bicara lembaga detektif flamboyan ternama negeri itu.
Syahdan berita itu geger. Gegap gempita terjadi di seantero
Antakabul, yang luasnya sejauh pandangan mata. Entah kegegeran itu membicarakan
apa, yang jelas berita tentang tangkap tangan telah menjadi isu utama, yang disebarkan
oleh monyet-monyet penyebar berita.
Beberapa jam kemudian, di antara orang-orang yang geger oleh
berita itu, ada seseorang yang khilaf. Ia langsung mencari Fulan untuk meminta
keterangan lebih jauh. Sayang, Fulan menghilang. Entah menghilang kemana.
Seseorang yang sadar itu tak mau menyerah. Ia melihat ke
tempat si Fulan terakhir terlihat. Ada yang aneh, pikirnya. Di tempat itu ada
sebuah lubang yang belum tertutup belum rapat. Ia mendekat dan mencoba menggali
lubang itu.
Tak ada pacul, batang kayu pun jadi. Batang kayu yang
diambil orang itu dari sembarang tempat diarahkannya tepat ke atas gundukan
tanah yang tersusun tidak sempurna. Sementara di bawah gundukan itu, di bawah
tanah, kasak-kusuk orang kebingungan semakin terdengar. Mereka melihat batang
kayu yang semakin dalam menggali. Suara-suara bersembunyi. Suara orang-orang
panik.
Orang itu akhirnya menemukan Fulan. Fulan keluar dari bawah
gundukan tanah itu, dan berucap kepada orang di sampingnya, “Tolong beritahu
orang-orang, rakyat Antakabul, yang tadi sudah geger dan gegap gempita, bahwa
informasi tentang tangkap tangan itu masih belum jelas. Detektif sendiri belum
mau mengungkapnya.”
“Lantas mengapa tadi kau sebarkan informasi itu,” tanya
orang itu.
“Maaf, tadi aku khilaf, bung. Tapi tolonglah, demi
reputasiku sebagai penyebar syiar panji-panji kebenaran.”
“Baiklah. Nanti akan kusampaikan ralat darimu,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Orang tua itu berjalan menuju kerumunan, sementara Fulan
kembali menghilang.