Ramai-ramai warga
desa mendatangi rumah di dekat portal masuk gang Kenari. Mereka membawa segala
barang yang bisa digunakan untuk menghancurkan. Cangkul, pedang, parang, balok
kayu, dan segala macam kerabatnya ada di tangan mereka. Amarah sudah mencapai
puncaknya. Tak tertahan.
***
Laksmi adalah bunga desa yang
menjadi idaman setiap perjaka di gang Kenari. Matanya kecil seperti dua garis
yang terpisah. Kulitnya tidak putih, namun cerah. Lesung pipinya selalu membuat
siapa saja yang ada di hadapannya tersenyum, mesem. Dan yang terpenting, seperti
juga ibunya, Laksmi pandai berdagang.
Laksmi selalu membantu ibunya
berdagang di warung. Kehidupannya hanya terdiri dari segitiga pasar-rumah-sekolah.
Laksmi tak suka bergaya macam-macam, seperti teman-temannya di SMA. Ia juga tak
suka membaca berita.
Sepulang sekolah, Laksmi pergi ke
pasar, yang searah dengan rumahnya, untuk belanja keperluan warung ibunya.
Warung ibu Laksmi adalah warung yang paling besar di gang Kenari. Segala macam
keperluan rumah tangga ada di dalamnya. Warung ibu Laksmi juga selalu ramai. Berdagang
memang keahlian keluarganya turun-temurun.
Di pasar, Laksmi selalu merasa
kagum. Ia sudah hapal benar dengan kehidupan pasar. Namun rasa kagumnya tak
pernah hilang.
Ia melihat bagaimana seorang ibu
menetekkan anaknya yang masih setengah tidur dalam gendongan kain. Ia merekam
bagaimana mata-mata sayup itu berusaha tergaja agar anak-anak di rumah bisa
sarapan sebelum berangkat sekolah. Ia juga mengingat bagaimana tatapan mata lelaki
itu, preman bertato macan yang selalu mengenakan kaos lengan buntung, kepada
dirinya. Semua itu membuatnya kagum.
Menurutnya, pasar adalah miniatur
kehidupan. Tempat di mana orang-orang berinteraksi mengenai untung dan rugi. Tak
peduli pembeli, mau nenek tua bungkuk atau kembang desa macam dirinya, harga
akan tetap sama. Tak ada tempat untuk perasaan. Semua didasarkan oleh hukum
ekonomi, untung dan rugi. Begitu pula ingatannya tentang pandangan lelaki
bertato macan itu. Pandangan yang selalu penuh dengan untung-rugi. Laksmi
merasa mata itu selalu mengawasinya.
Seperti biasa, ia selalu berjalan
menenteng barang belanjaan dengan ceria. Sapaan-sapaan tetangga dibalasnya
dengan senyum yang menghasilkan lesung.
“Eh, nduk Laksmi baru pulang?”
“Iya, bu.” Laksmi selalu singkat
menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi tetangganya. Namun lesung pipi dan
senyuman itu selalu menyelamatkannya dari kejamnya bisikan tetangga.
***
Hari itu ibu Laksmi tidak membuka
warungnya. Biar warung kita tutup dulu, gak
usah dagang dulu, ucap ibunya ketika itu sambil memberikan sarapan kepada
Laksmi yang hendak berangkat ke sekolah. Laksmi hanya diam sambil menyantap
telur dadar buatan ibunya.
“Nanti pulang sekolah, langsung
pulang, ya,” ucap ibunya.
“Iya, Ma. Biasanya juga aku
langsung ke pasar terus pulang.”
“Hari ini kamu gak usah belanja. Langsung pulang saja. Warung
kita tutup dulu.”
“Iya, Ma..”
Baru kali itu ibu Laksmi melarang
Laksmi untuk belanja di pasar sepulang sekolah. Laksmi hanya bisa menurut
perintah ibunya. Yang Laksmi tahu, hari itu adalah tanggal 13, angka yang dipercaya membawa sial baginya. Nanti siang setelah sekolah, ia akan langsung pulang.
Sepulang sekolah, Laksmi langsung
ke depan untuk menunggu mikrolet. Dengan riang, bersama teman-temannya, ia naik
mikrolet yang terkenal suka ngetem
itu. Jalanan hari itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang melintas.
Sampai di perempatan pasar
jalanan menjadi ricuh. Orang-orang ramai berkerumun membawa segala macam barang.
Dalam pelan, Laksmi melihat mata itu, mata tajam yang sering menatapnya ketika
belanja, mata seorang preman bertato macan di antara kerumunan. Tangan Laksmi
bergetar.
“Turun semuanya.. Turun,” teriak
preman itu.
Orang-orang di dalam mikrolet
turun semua. Kaca-kaca mikrolet satu per satu dipecahkan. Laksmi semakin
ketakutan.
“Ayo, ibu-ibu ke sini semua,”
ucap preman bertato macan.
“Ada yang cina gak?” teriak yang
lain.
Tangan Laksmi ditarik olehnya. Tubuhnya
disergap, lekukannya digerayangi. Semua mata hanya bisa melihat iba. Tak ada
yang berani menolong. Laksmi berteriak, namun gerayangan itu semakin memuncak.
Tangan preman itu mulai mendekati
kemaluannya, sebelum seorang temannya mengingatkan, “Hei, itu punya Cina.
Haram!”
Laksmi masih saja terisak. Preman
itu mengambil sebatang kayu. Orang-orang di sekitarnya membuka rok biru muda
seragamnya, sebelum preman bertato macan itu menancapkan kayu di kemaluan
Laksmi. Berulang-ulang.
Laksmi tak bisa lagi berteriak.
Ia pingsan lalu ditinggalkan.
Seorang bapak mencoba menolong
Laksmi yang masih pingsan. Darah masih keluar dari pangkal kedua kakinya. Beberapa
taksi menolak dihinggapi, hingga akhirnya ada mobil yang berhenti. Laksmi
langsung dibawa ke rumah sakit. Pendarahannya hebat.
***
Ramai-ramai warga desa mendatangi
rumah di dekat portal masuk gang Kenari. Mereka membawa segala barang yang bisa
digunakan untuk menghancurkan. Cangkul, pedang, parang, balok kayu, dan segala
macam kerabatnya ada di tangan mereka. Amarah sudah mencapai puncaknya. Tak tertahan.
Warung ibu Laksmi, yang juga
tempat tinggalnya, langsung dibakar. Iabu Laksmi tak sempat keluar. Warga kampung
panik sekaligus bingung melampiaskan kemarahannya kepada siapa lagi kecuali
kepada mereka yang berbeda.
Laksmi masih terbujur kaku di
rumah sakit. Yang pasti, ia tak akan pernah bisa pulang. Rumah dan warungnya
sudah menjadi abu. Seperti ibu.