Laman

Kamis, 17 Juli 2014

Pinggulmu Bukan Omelet

Aku bersama anak-anak kita
Menyaksikan pinggulmu di halaman
Bergoyang ke kiri bergoyang ke kanan
Menyisakan suara air menetes-netes
Kau sadar tapi terus memeras baju kami
Dan kau justru bersiul seraya menjemur
Kaos kaki juga celana dalam kami

Barangkali kau mengingat saat kami tertidur
Aku memasukkan tanganku ke dalam celana sambil mengorok
Sedangkan anak-anak begitu pulas
Mereka tetap memeluk perut buncitku
Meski saat terbangun mereka memprotesku

Kau tahu, pagi yang sama tak akan terulang kembali
Ketika kau memberi tahu anak-anak bagaimana suara ayam berkokok
Ketika kau mengajari anak-anak bagaimana cara menyapu dengan sapu lidi
Anak-anak tak peduli
Mereka tetap melompat-melompat sambil menjulurkan tangannya ke langit timur
Mereka masih mengira matahari dapat diraih

Pinggulmu itu
Bukan omelet yang kau buat dengan irisan cabe rawit di saban minggu
Kau bisa lihat kami
Tak berebut mengambil bagian terbanyak sambil saling sikut
Soal pinggulmu itu
Mata kami membuat semacam kesepakatan damai

Kau tentu saja ingat di Depok tak ada bir yang mudah didapat
Waktu kau dan aku pertama kali bertemu
Aku ingin ceritakan itu pada anak-anak kita kelak
Walau kau tak tertarik ikut bersama kami
Anak-anak pasti tetap menyimak cerita itu
Bahkan lebih khusyuk dari pada upaya mereka meraih matahari

Sebab sebelum bercerita, diam-diam aku berbisik cerita itu tentang puisi ini
Lalu aku berjanji akan membacakan puisi ini pada mereka



 Day 19


Laksmi Tak Pernah Pulang


Ilustrasi: lentera-pembebasan
Ramai-ramai warga desa mendatangi rumah di dekat portal masuk gang Kenari. Mereka membawa segala barang yang bisa digunakan untuk menghancurkan. Cangkul, pedang, parang, balok kayu, dan segala macam kerabatnya ada di tangan mereka. Amarah sudah mencapai puncaknya. Tak tertahan.
***
Laksmi adalah bunga desa yang menjadi idaman setiap perjaka di gang Kenari. Matanya kecil seperti dua garis yang terpisah. Kulitnya tidak putih, namun cerah. Lesung pipinya selalu membuat siapa saja yang ada di hadapannya tersenyum, mesem. Dan yang terpenting, seperti juga ibunya, Laksmi pandai berdagang.

Laksmi selalu membantu ibunya berdagang di warung. Kehidupannya hanya terdiri dari segitiga pasar-rumah-sekolah. Laksmi tak suka bergaya macam-macam, seperti teman-temannya di SMA. Ia juga tak suka membaca berita.

Sepulang sekolah, Laksmi pergi ke pasar, yang searah dengan rumahnya, untuk belanja keperluan warung ibunya. Warung ibu Laksmi adalah warung yang paling besar di gang Kenari. Segala macam keperluan rumah tangga ada di dalamnya. Warung ibu Laksmi juga selalu ramai. Berdagang memang keahlian keluarganya turun-temurun.

Di pasar, Laksmi selalu merasa kagum. Ia sudah hapal benar dengan kehidupan pasar. Namun rasa kagumnya tak pernah hilang.

Ia melihat bagaimana seorang ibu menetekkan anaknya yang masih setengah tidur dalam gendongan kain. Ia merekam bagaimana mata-mata sayup itu berusaha tergaja agar anak-anak di rumah bisa sarapan sebelum berangkat sekolah. Ia juga mengingat bagaimana tatapan mata lelaki itu, preman bertato macan yang selalu mengenakan kaos lengan buntung, kepada dirinya. Semua itu membuatnya kagum.

Menurutnya, pasar adalah miniatur kehidupan. Tempat di mana orang-orang berinteraksi mengenai untung dan rugi. Tak peduli pembeli, mau nenek tua bungkuk atau kembang desa macam dirinya, harga akan tetap sama. Tak ada tempat untuk perasaan. Semua didasarkan oleh hukum ekonomi, untung dan rugi. Begitu pula ingatannya tentang pandangan lelaki bertato macan itu. Pandangan yang selalu penuh dengan untung-rugi. Laksmi merasa mata itu selalu mengawasinya.

Seperti biasa, ia selalu berjalan menenteng barang belanjaan dengan ceria. Sapaan-sapaan tetangga dibalasnya dengan senyum yang menghasilkan lesung.

“Eh, nduk Laksmi baru pulang?”

“Iya, bu.” Laksmi selalu singkat menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi tetangganya. Namun lesung pipi dan senyuman itu selalu menyelamatkannya dari kejamnya bisikan tetangga.
***
Hari itu ibu Laksmi tidak membuka warungnya. Biar warung kita tutup dulu, gak usah dagang dulu, ucap ibunya ketika itu sambil memberikan sarapan kepada Laksmi yang hendak berangkat ke sekolah. Laksmi hanya diam sambil menyantap telur dadar buatan ibunya.

“Nanti pulang sekolah, langsung pulang, ya,” ucap ibunya.

“Iya, Ma. Biasanya juga aku langsung ke pasar terus pulang.”

“Hari ini kamu gak usah belanja. Langsung pulang saja. Warung kita tutup dulu.”

“Iya, Ma..”

Baru kali itu ibu Laksmi melarang Laksmi untuk belanja di pasar sepulang sekolah. Laksmi hanya bisa menurut perintah ibunya. Yang Laksmi tahu, hari itu adalah tanggal 13, angka yang dipercaya membawa sial baginya. Nanti siang setelah sekolah, ia akan langsung pulang.

Sepulang sekolah, Laksmi langsung ke depan untuk menunggu mikrolet. Dengan riang, bersama teman-temannya, ia naik mikrolet yang terkenal suka ngetem itu. Jalanan hari itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang melintas.

Sampai di perempatan pasar jalanan menjadi ricuh. Orang-orang ramai berkerumun membawa segala macam barang. Dalam pelan, Laksmi melihat mata itu, mata tajam yang sering menatapnya ketika belanja, mata seorang preman bertato macan di antara kerumunan. Tangan Laksmi bergetar.

“Turun semuanya.. Turun,” teriak preman itu.

Orang-orang di dalam mikrolet turun semua. Kaca-kaca mikrolet satu per satu dipecahkan. Laksmi semakin ketakutan.

“Ayo, ibu-ibu ke sini semua,” ucap preman bertato macan.

“Ada yang cina gak?” teriak yang lain.

Tangan Laksmi ditarik olehnya. Tubuhnya disergap, lekukannya digerayangi. Semua mata hanya bisa melihat iba. Tak ada yang berani menolong. Laksmi berteriak, namun gerayangan itu semakin memuncak.

Tangan preman itu mulai mendekati kemaluannya, sebelum seorang temannya mengingatkan, “Hei, itu punya Cina. Haram!”

Laksmi masih saja terisak. Preman itu mengambil sebatang kayu. Orang-orang di sekitarnya membuka rok biru muda seragamnya, sebelum preman bertato macan itu menancapkan kayu di kemaluan Laksmi. Berulang-ulang.

Laksmi tak bisa lagi berteriak. Ia pingsan lalu ditinggalkan.

Seorang bapak mencoba menolong Laksmi yang masih pingsan. Darah masih keluar dari pangkal kedua kakinya. Beberapa taksi menolak dihinggapi, hingga akhirnya ada mobil yang berhenti. Laksmi langsung dibawa ke rumah sakit. Pendarahannya hebat.
***
Ramai-ramai warga desa mendatangi rumah di dekat portal masuk gang Kenari. Mereka membawa segala barang yang bisa digunakan untuk menghancurkan. Cangkul, pedang, parang, balok kayu, dan segala macam kerabatnya ada di tangan mereka. Amarah sudah mencapai puncaknya. Tak tertahan.

Warung ibu Laksmi, yang juga tempat tinggalnya, langsung dibakar. Iabu Laksmi tak sempat keluar. Warga kampung panik sekaligus bingung melampiaskan kemarahannya kepada siapa lagi kecuali kepada mereka yang berbeda.

Laksmi masih terbujur kaku di rumah sakit. Yang pasti, ia tak akan pernah bisa pulang. Rumah dan warungnya sudah menjadi abu. Seperti ibu.

Mengenang 7 tahun kompilasi Mesin Waktu: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif

Mesin Waktu: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif, Aksara Record, 2007   






Saya pertama membeli kompilasi ini di tahun 2007, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Dengan uang saku seadanya, saya membeli kompilasi super berharga ini dalam format kaset. Saat itu, kasetnya sendiri berharga Rp 20.000, sebuah harga yang relevan untuk anak SMP macam saya. Apalagi, saya juga hanya memiliki tape sebagai media player pemutar. Cocoklah.

Tak kurang 14 lagu dimainkan oleh artis-artis sidesterm. Ada beberapa rekan seangkatan Naif dalam industri musik seperti Fable dan Cherry Bombshell. Rekan-rekan musisi dari almamater Naif di Institiut Kesenian Jakarta seperti the Adams, Karon n Roll, White Shoes dan Goodnight Electric. Selain itu, ada beberapa nama lain yang cukup fenomenal di ranah underground lokal seperti Superglad, Sore, Tika, Icarie, Brandals, Media Distorsi, Monophones, serta band asal negeri Upin-Ipin, Couple.

Adanya kompilasi ini jelas memberikan stigma bahwa Naif sudah di cap sebagai legenda musik Indonesia. Bahkan Slank, Dewa, bahkan Gigi hingga kini belum mendapatkan tribute atas apa yang mereka persembahkan 20 tahun belakangan ini. Inilah yang membuat Naif spesial dari beberapa nama yang saya sebutkan diatas. Karya yang dihasilkan David, Pepeng, Emil, Jarwo dan Chandra (dimanapun ia berada sekarang)  memang tak pernah bosan untuk di dengarkan dalam era apapun, oleh siapapun oleh kalangan manapun. Bahkan, jika anda adalah penikmat musik hingar bingar yang keras dan menyayat telinga. Anda juga masih bisa membuka celah untuk mulai menyukai David dan kolega.

Album ini cukup unik, semua artis yang berpartisipasi memberikan warna musiknya masing-masing. Mulai dari Pop, Rock, Electronic, Rock and Roll bahkan hingga Swing/Jazz sekalipun. Semua artis yang tampil seakan menjadi headline di album ini. Mereka bermain dengan sangat lepas tanpa menghilangkan esensi dari lagu lama Naif itu sendiri.

Saya cukup menyayangkan, mengapa lagu Possesif, Towal-Towel, Yts: Ibu, Uang, Johan dan Enny tak masuk kedalam kompilasi ini. Padahal lagu tersebut cukup membuat saya tersenyum sungging. Semoga saja akan ada tribute kedua untuk Naif dan para artis yang berkontribusi membawakan lagu-yang saya sebutkan tadi, semoga hal tersebut bisa terealisasi di masa depan.

Tujuh tahun telah berlalu semenjak dirilisnya kompilasi bersejarah ini. Hingga hari ini, saya masih mendengarkan album ini secara penuh dengan tape tua saya yang sudah tak bisa diharapkan lagi kejernihan suaranya. Saya beruntung bisa memilikinya dan menjadi bagian dari sejarah perjalanan Naif. Naif sendiri juga masih memproduksi album studio hingga hari ini. Namun kini mereka lebih mengusung tema percintaan. Sebuah tema yang jarang diangkat Naif dalam karya-karyanya. Sudahlah, saya tak ingin membicarakan album terkini dari Naif.

Oh iya, mungkin saja tiga tahun lagi, album ini akan dirilis ulang dalam format vynil. Bisa saja hal itu terjadi. mengingat kini budaya vynil tengah marak di kalangan sidesterm. Toh album ini memang layak untuk dikoleksi dalam format itu. Jika memang jadi dirilis dalam format vynil. Saya tentu tak bisa membelinya karena keterbatasan sumber daya keuangan sebagai mahasiswa tingkat akhir yang memprioritaskan membeli tinta printer, pulpen dan kertas HVS demi selesainya tugas akhir.

Berjayalah Naif, selamat berpuasa.