|
Protes rakyat Brasil (Sumber: Google) |
Dari awal, sebagian rakyat Brasil memang tak setuju Piala Dunia
2014 digelar di negaranya. Pasalnya, krisis ekonomi sedang melanda negeri samba
itu.
Ingat beberapa bulan lalu, ketika renovasi stadion-stadion
di Brasil molor dari jadwal? FIFA sampai harus menahan tujuh persen tiket karena
kapasitas stadion belum juga diketahui. Tujuh tahun yang digunakan Brasil untuk
persiapan pagelaran sepakbola terbesar di Bumi ini, sia-sia.
Terkesan dipaksakan, Piala Dunia 2014 memang tak seheboh
Piala Dunia sebelumnya, saat digelar di benua hitam Afrika. Theme song yang didendangkan
oleh Pitbull bersama Jennifer Lopez & Claudia Leitte tak setenar Waka Waka
yang dinyanyikan Shakira. Banyak bangku kosong di stadion saat babak penyisihan
grup. Dan, pesta pembukaan yang payah.
FIFA menjadi kambing hitam, bulan-bulanan rakyat Brasil yang
dari awal memrotes Piala Dunia ini dilangsungkan di negerinya. Menurut mereka,
FIFA telah mengubah sepakbola sebagai industri. Ada bisik-bisik yang
menyebutkan FIFA mendesak pemerintah Brasil untuk mengubah undang-undang
tentang minuman keras, agar para sponsor minuman beralkohol dapan dengan
leluasa mengedarkan produknya.
Tak berhenti sampai di situ, para demonstran juga memrotes
kebijakan pemerintah Brasil, yang lebih memilih membangun stadion daripada
membangun infrastruktur publik dan kelayakan upah untuk rakyat Brasil.
|
Sumber: Google |
"Jika mereka memiliki uang untuk pembangunan stadiun
Itaquerao, bagaimana mereka mengaku tidak memiliki uang yang cukup untuk
publik," ujar presiden serikat buruh, Prazeres Junior, sebagaimana dikutip
Infobae.com.i
Sementara itu, Menteri Negara untuk Urusan Strategis Brasil
Marcelo Neri berkelit, "Ini adalah kesempatan seperti yang Anda miliki di
Inggris (untuk Olimpiade 2012). (Sementara) kita memiliki potensi yang sangat
besar dalam hal pariwisata namun belum berkembang dengan baik. jadi dengan ini
sekaligus dapat meningkatkan pariwisata."ii
Dari awal, rakyat Brasil telah memandang Piala Dunia ini
sebagai tragedi, di mana pemerintah lebih meminggirkan urusan perut rakyat dari
pagelaran akbar tersebut. Taragedi, seperti kekalahan Brasil pagi tadi.
***
Pemain kedua kesebelasan –Brasil dan Jerman- telah berdiri
dilorong, bersiap memasuki lapangan hijau. David Luiz memimpin pasukan Brasil
dengan wajah tegang. Ia harus menggantikan peranan Thiago Silva yang terkena
akumulasi kartu. Sementara, Phillip Lahm melangkah ke luar tanpa beban.
Bendera FIFA dikibarkan, bersama dengan bendera kedua negara
yang bertanding. Pasukan Joachim Loew dipersilakan menyanyikan lagu
kebangsaannya duluan. Sementara seluruh penghuni Estádio Mineirão, Belo
Horizonte, hampir seluruhnya berwarna kuning diam, dan pada saatnya ramai-ramai
meneriakan lagu kebangsaan mereka, Hino Nacional Brasileiro.
Marco Rodriguez, pengadil yang memimpin drama
kekalahan Italia, meniupkan peluit tanda dimulainya pertandingan. Sepuluh menit
pertama, permainan milik Brasil. Serangan demi serangan dilancarkan ke gawan
Neuer. Tapi sial, menit kesebelas adalah milik Thomas Muller, yang melesakan
bola ke gawang Julio Cesar, sekaligus mengejar torehan gol Jamez Rodriguez di
papan topskor.
Menit 23, giliran Miroslav Klose yang mencatatkan namanya di
papan sejarah. Ya, pemain Societa Sportiva Lazio ini telah melampaui rekor
Ronaldo di topskor sepanjang masa. Brasil menerima dua pukulan sekaligus,
kebobolan untuk kedua kalinya dan catatan legendanya disalip pemain bernomor
punggung 11 ini.
|
Curva Nord stadion Olimpico Roma saat Derby Della Capitale 16 Oktober 2011 (Sumber Google) |
Satu menit berselang, giliran Toni Kroos. Dan, dua menit
selanjutnya, Kroos menanamkan rasa bagaimana dipermalukan di stadion yang
dibangun tidak atas kehendak rakyat sendiri tersebut. Dengan latar seorang
bocah menangis, seakan pilu melihat negaranya dilumat, sang komentator berucap,
“Little boy is crying.”
Saya tak ingin melanjutkan review pertandingan sampai selesai, karena informasi mengenai itu
bisa anda dapatkan saat anda membuka layar ponsel dalam keadaan berak dan teman
anda menagih uang taruhan yang harus dibayar. Hasilnya kita semua sudah tahu. Brasil
mengalami tiga kekalahan dalam satu pukulan.
Pertama adalah rakyat yang dimarjinalkan oleh pegelaran
sepakbola terbesar di Bumi. Kedua adalah tim nasional sepakbola yang hampir
disamakan dengan tim nasional Arab Saudi pada Piala Dunia 2002. Dan yang
ketiga, sekaligus penutup; Ronaldo, yang karirnya ditutup oleh skandal seks
dengan seorang waria, harus rela namanya digantikan oleh pemain SS Lazio di
pencatat gol terbanyak di Piala Dunia.
Dan ingat, seluruh kejadian di semesta adalah sebuah relasi,
sebab-akibat. Rakyat Brasil dari awal sudah menolak menyelenggarakan Piala
Dunia. Mereka merasa tidak diperhatikan oleh negara. Apakah fungsi negara
sebenarnya? Sepertinya saya harus kembali membaca pandangan kaum anarki.
Pemerintah yang memaksakan gelaran Piala Dunia harus terlaksana,
menuai imbasnya. Tak hanya bagi pemerintah, tapi bagi rakyat Brasil. Kun
Fayakun adalah jawabannya. Ia tidak terjadi begitu saja, tapi adalah relasi. Relasi
dari semesta yang tunggal.
Dan di luar stadion, mereka masih berdemonstrasi.
Catatan: