Laman

Kamis, 03 Juli 2014

Onani

DI HARI ke lima dalam tantangan 30 Hari Menulis, saya tak  mau lalai lagi. Kemarin saya mengabaikan kewajiban menulis di blog ini karena saya tak punya waktu membuka laptop. Namun itu mungkin hanya alasan seorang pengingkar janji amatir saja.

Yang jelas, kini saya tak mau lalai lagi. Tetapi sekarang sudah pukul setengah 11, dan saya baru sempat membuka laptop, dengan kepala kosong. Sedangkan Bayu dan Heri sudah merampungkan tulisannya.

Karena saya tak punya banyak waktu memikirkan apa yang perlu saya tulis, jadi saja saya menulis spontan begini. Cuek. Toh, dalam 30 Hari Menulis, tidak ada yang tidak layak tulis. Kalau saja ada kesepakatan tertentu tentang tema dan blablabla-nya, itu hanya omong kosong belaka. Boleh dipatuhi, boleh tidak.

Intinya, bebas saja. Tak peduli apapun. Semuanya bisa ditulis tanpa perlu memikirkan apa pentingnya tulisan tersebut, apakah informatif atau tidak, dan menarik atau tidak. Sebab, blog ini hanya tempat onani. Tempat onani berjamaah.

Karena onani berjamaah, kami bisa saling melihat bagaimana cara masing-masing kami melakukan onani, dan bagaimana sensasi pada saat orgasme dalam tulisan. Itu berarti, saat anda membaca tulisan di blog ini, anda juga sedang melihat kami onani dan orgasme sendiri.

Tapi jika itu tak terasa, anda barangkali perlu mengklik Tentang Kami di blog ini, lalu lihat dengan seksama tampang Bayu dan Heri. Itu mungkin mampu membantu anda membayangkan mereka onani dan orgasme sendiri.

Jika anda tertarik tertarik lebih jauh, perlu saya beri tahu, saya dan Heri sudah punya pacar.

___________________________

Catatan: Saya tahu ada beberapa teknik melakukan onani. Otong Koil, misalnya, seringkali menganjurkan followers twitternya agar onani dengan menggunakan kabel telepon. Selain itu, di Kaskus, saya juga pernah melihat thread soal bagaimana cara membuat vagina buatan dengan daging sapi sebagai alat onani. Sayangnya, barusan saya cari, thread itu sudah dihapus. Namun ternyata ada orang yang menulis ulang thread tersebut di blog pribadinya.

Day 5

Menginternasionalkan FPI



FPI adalah sebuah ormas yang berlandaskan Islam dalam menjalankan keorganisasiannya. Hal ini bisa dilihat dari cara mereka berbusana dan menata diri. Banyak dari anggotanya memiliki janggut panjang seperti kambing pada umumnya. Janggut panjang sendiri, menurut beberapa orang adalah stereotip seorang muslim. Entah saya harus percaya atau tidak akan persepsi tersebut.

Mereka kerap melakukan dakwah yang biasa disosialisasikan ke masyarakat. Menurut seorang sepuhnya, Habib Rieziq, dakwah FPI bisa dibilang “agak keras.” Hal ini bisa dilihat dengan rajinnya mereka merazia tempat yang disinyalir sebagai lembah dosa. Mereka biasa berdakwah dengan cara memporakporandakan tempat yang menjadi sumber kehidupan bagi sebagian orang yang tak begitu percaya dengan koorporasi kerja ala kantoran, yang mungkin akan mengikat mereka dalam rutinitas yang menjemukan. Dalam dakwahnya di tempat-tempat tersebut, FPI biasanya menyebut nama tuhan. Berarti, FPI masih memiliki tuhan. Terlepas dari perilaku keras mereka dalam mensyiarkan kebenaran.

Pada dasarnya, dakwah FPI tidak bisa dibilang salah, namun juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. FPI mungkin saja sudah memberitahu secara baik-baik, namun mereka yang memiliki tempat usaha tidak mendengarkan. Terpaksalah FPI bertindak radikal bak hooligan yang kecewa karena tim kesayangannya kalah oleh sang rival. Radikalitas tersebut yang membuat FPI kerap di cap buruk oleh masyarakat. Jika ingin lebih bijak, mereka bisa saja berdiskusi dengan pengelola tempat usaha, dengan kepala dingin sembari menyeruput beberapa gelas teh manis dan kentang goreng. Tentunya hal ini tak akan menyebabkan kerugian kepada pengelola. Karena pada dasarnya, properti usaha dunia malam sangat mahal.

Namun ada sebuah hal yang sangat saya sayangkan. Mengapa FPI hanya berani menindak para pengelola usaha yang jelas tak memiliki kekuatan sebanding dengan mereka. Mengapa mereka tak membantu membela islam dengan ikut berperang di Jalur Gazza melawan penindasan kaum zionis. Bukankan zionis adalah musuh islam? Apakah karena FPI lahir di Indonesia sehingga menyebabkan mereka hanya memiliki mental jago kandang? Jika memang jago kandang menjadi sebuah alasan, saya memiliki sebuah gagasan untuk mematikan stigma tersebut.

FPI telah memiliki landasan yang kuat dalam berorganisasi. Jika mereka ingin menginternasionalkan nama mereka, mereka bisa saja mencoba untuk mendiukung sebuah klub sepakbola dan memiliki paham agamis dalam menudukung klub. Supporter Glasgow Rangers dan Celtic cukup berhasil menerapkan paham agamis mereka. Rangers berdiri dengan paham katoliknya, sementara Celtic tetap teguh pada paham protestan. Kedua supporter tersebut telah diakui sebagai supporter yang amat menakutkan bagi kawan maupun lawan. Bedanya, mereka tidak turun langsung ke lapangan untuk membela agama mereka. FPI jelas memiliki sebuah keunggulan untuk membela agamanya secara berlebih.

Bisa saja FPI memulai mendukung sebuah klub lokal. menaggalkan gamis, dan sorban,  stick baseball dan batu yang biasa mereka bawa dalam dakwahnya. Kemudian mereka bisa menggantinya dengan flare, smokebomb, bass,tom dan snare drum, Parka, Harrington, Jeans ,Buckethead dan Adidas  dan brass knucle saat ke stadion. Mereka cukup melontarkan lafaz-lafaz suci sebagai chant mereka. Niscaya, tim lawan tak akan berani mengintimidasi balik mereka. Atau jika perlu, mereka harus memulai pengembangan namanya dengan ikut menyaksikan partai persahabatan antara tim dunia melawan tim Indonesia dengan membawa attitude yang saya jelaskan diatas. Dengan demikian, sorotan media dunia secara langsung akan mengarah kepada mereka. Dan secara langusung, mereka akan mendapatkan nama mereka di mata Internasional.

Setelah mendapatkan status tersebut, bisalah mereka berkolektif ria untuk membawa tim yang didukungnya ke tanah Istrael. Mereka bisa menjadikan Maccabi Tel Aviv ataupun Maccabi Haifa sebagai lawan tanding mereka. Bisa dipastikan match tersebut akan sangat keras, melebihi derby sepakbola manapun di belahan dunia. Jika memang telah hal tersebut terjadi, ultras-ultras dengan paham apapun di seluruh belahan dunia niscaya akan ada dibawah kaki mereka.

Status sudah didapat, pengakuan sudah, lantas sekaranglah saatnya membela islam dengan cara menghancurkan Istrael bersama sekutunya.  Jika memang mereka kurang kekuatan, mereka bisa saja meminta bantuan para ultras dunia untuk membantu misi mereka yang suci, menjaga perdamaian dunia dari belenggu Amerika dan Istrael. Apabila halitu bisa terjadi, Hitler dan Musollini ataupun Putin akan mencium kaki para pejuang FPI dengan anggun.

Menikmati Sebungkus Kacang Rebus di Kereta Pulang

Tadinya saya ingin mengawali tulisan ini dengan kalimat;

“Yang paling nikmat di bulan puasa adalah ketika hujan di kala senja, dan adzan tak kunjung tiba. Di sebuah halte muram, saya menunggu langit berhenti sejenak untuk memberi peluang. Namun, kehidupan memang tak selalu berjalan sesuai pikiran. Hujan tak mau pulang, terpaksa saya buka di jalan.”

Namun kaitan antara kalimat pertama dan setelahnya terasa kurang cocok. Saya yakin pembaca tak menemukan sesuatu yang menarik dari menunggu hujan di bulan Ramadhan. Tidak menarik perhatian pembaca untuk melanjutkan membaca.

Saya bingung untuk membuat awal paragraf yang menarik. Adzan magrib sudah mulai berkumandang. Ide tak kunjung datang. Dan sialnya, saya terjebak hujan.

Saya menyalakan rokok sisa semalam yang tak sempat dibakar oleh karena lantunan suara pemanggil solat keburu datang subuh tadi. Di halte ada seorang ibu penjual gorengan. Saya membelinya, lima, dan segelas teh hangat untuk menambal perut yang kedinginan.

Jam menunjukkan pukul 18.30 saat sinar lampu mulai dinyalakan. Gemerlap derung mesin kendaraan menyapu genangan air di sisi jalan. Hujan sudah reda, namun rintik belum usai.

Pukul 19.08, yang lainnya datang. Kami berbicara tentang sesuatu yang sangat rahasia. Namun, ada yang harus disebarluaskan dari perbincangan rahasia tersebut. Teman-teman saya mulai merasa ketakutan oleh tindakan subversif yang dilakukan tim pemenangan Prabowo-Hatta di daerah-daerah.

Yang satu bilang, bahwa keadaan seperti ini laiknya massa Orde Baru yang perlahan muncul kembali. Kami, saya dan teman-teman saya, tak bisa membayangkan apabila Prabowo-Hatta nanti terpilih menduduki kursi tertinggi di negeri ini.

Namun ada perspektif lain. Seorang teman berasumsi bahwa tindakan-tindakan subversif bisa saja dilakukan oleh kubu Jokowi-JK. Alasannya, mereka tahu bahwa ketakutan kelas menengah ketika terhadap kubu Prahara melulu soal HAM. Dan dengan bertindak subversif kepada pendukung Jokowo-JK, kubunya sendiri, semakin memanaskan bola panas yang terlanjur terbakar. Hanya asumsi memang, namun logikanya bisa diterima. Semacam propaganda.

Tapi, saya tetap tak bisa membayangkan jika seorang jenderal yang kasusnya tak kunjung selesai, memimpin negeri ini. Sudah pasti, siapapun yang mencoba menyentuh kulitnya, disingkirkan dengan mudah.

Ketakutan-ketakutan itu datang lagi.

Ya, sangat rahasia memang informasi itu, sehinga tak patut untuk diungkap di blog yang penuh ke-soktahu-an seperti ini. Namun, apa boleh buat. Tulisan sudah dibuat. Sayang kalau tak disebarluaskan. Ketakutan hanya tinggal ketakutan.

Karena dari awal menulis di blog ini, saya dan mereka –teman-teman saya yang sering terlambat posting naskah- ingin menafsirkan kebenaran dengan cara yang semena-mena.

Kalimat pembuka untuk tulisan ini tak juga saya temukan. Biaralah seperti itu. Tanpa makna, tanpa tujuan. Biarlah cerita ini memiliki kehendaknya sendiri. Tanpa harus saya kehendaki.

Sumber: Google

Ah, di seberang ada penjual kacang rebus. Jam tangan telah menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit. Saya putuskan membeli sebungkus kacang rebus hangat itu, untuk bekal pulang di dalam kereta yang hampir habis.

Kereta malam itu membawa saya pulang –entah konsep pulang yang seperti apa.