Kredit ilustrasi: di potonya udah ada |
Pagi ini Zia
tak seperti biasa. Tak ada koran di pangkuannya, tak ada telepon genggam, tak
ada senyuman. Matanya hanya menatap lurus ke ujung jalan yang ramai, di mana
orang-orang menghabiskan pagi di akhir pekan.
Sudah tiga cangkir
kopi pahit ia habiskan. Ini cangkir keempat pagi itu. Sementara pikirannya masih
berkelana entah ke mana.
Zia harus
meninggalkan rumah yang telah ia tempati 25 tahun terakhir. Semua barang sudah
ia masukan ke dalam kardus yang tersusun rapi. Namun Zia tetap masih merasa
meninggalkan sesuatu di rumah tua itu. Entah apa, ia tak mampu merabanya.
Anton yang
semalam menginap telah memindahkan barang itu ke mobil pick up terbuka yang
telah siap setengah jam lalu. Zia masih memandang ujung jalan sambil sesekali
menyeruput cangkir kopi ke empatnya.
“Sudah
waktunya, Sayang.” Suara Anton memecahkan lamunan Zia. “Barang-barang sudah
semuanya dimasukkan. Hanya kamu dan cangkir itu yang masih di luar. Ayo, nanti
keburu siang.”
“Sebentar. Aku
masih merasa ada yang tertinggal, namun tak tahu apa,” ucap Zia perlahan.
“Bukannya
semalam kita telah sama-sama, dengan teliti, memasukkan semua barang ke
kardus-kardus itu.”
“Iya, sayang.
Tapi entah kenapa aku merasa ada yang tertinggal.”
Anton menyerah membujuk Zia yang masih duduk dengan cangkir
kopi pahitnya. Dengan gelisah, ia mendekati kekasihnya.
“Kamu tahu apa yang paling berat dari kepindahan ini?”
Anton hanya mengangkat kedua bahunya.
“Kenangan. Andai aku bisa memasukan semua kenangan dalam
kardus-kardus itu.”
“Bukankah kita telah membicarakannya semalam? Kau tak bisa
selamanya hidup dalam kenangan, Zi.”
“Iya aku tahu. Tapi biarlah sejenak aku duduk di kursi ini
sebentar lagi, kursi yang dulu sering menidurkan aku di pangkuan ibu.”
Zia kembali terdiam, mengingat betapa setia ibu menantikan
pulang ayah di kursi itu sampai Izrail menjemputnya tiga tahun lalu. Sudah 15
tahun ayah tak pulang. Saat kematian ibu pun tidak. Zia tak pernah tahu di mana
ayahnya. Hanya bisik tetangga yang memberinya petunjuk; Ayah pergi ke seberang
bersama perempuan simpanannya.
Betapapun bisikan tetangga selalu melewati telinga Zia
dengan sembunyi, ia tak pernah percaya bahwa ayahnya selingkuh. Namun sejak
kematian ibu, ia bertekad untuk selalu membenci ayah. Membenci segala kepahitan
yang diderita ibu.
“Kau mau berjanji satu hal padaku?”
“Berjanji apa?”
“Kau akan pulang lebih cepat dari kedatangan Izrail
kepadaku.”
“Pasti. Aku akan selalu pulang. Pun jasadku terlambat datang,
tapi percayalah, jiwaku akan selalu di rumah,” tangan Anton menunjuk dada Zia.
Air mata Zia menetes. Melihat kekasihnya menangis, Anton berdiri.
Ia berjalan masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang kosong itu dengan
tatapan tajam. Tak lama, kembali ia keluar.
“Tak perlu kardus untuk membungkus semua kenanganmu. Aku sudah
merekam semuanya dalam mataku. Kalau kelak kau merindukannya, tataplah mataku.”
Zia tersenyum mendengar ucapan
Anton barusan. Segera dihabiskannya kopi pahit yang masih tersisa.
“Ayo. Aku sudah siap untuk jalan.”
“Kau tak mau membawa cangkir itu?”
“Biarlah cangkir itu tetap setia di
sini. Biar kelak, kalau ayah pulang dan rindu padaku, ia bisa menatap cangkir
itu. Sisa kepahitan dari kopiku tadi masih ada di dindingnya.”
sad..
BalasHapus