Laman

Selasa, 15 Juli 2014

Secangkir Kopi Pahit untuk Ayah

Kredit ilustrasi: di potonya udah ada
Pagi ini Zia tak seperti biasa. Tak ada koran di pangkuannya, tak ada telepon genggam, tak ada senyuman. Matanya hanya menatap lurus ke ujung jalan yang ramai, di mana orang-orang menghabiskan pagi di akhir pekan.
 
Sudah tiga cangkir kopi pahit ia habiskan. Ini cangkir keempat pagi itu. Sementara pikirannya masih berkelana entah ke mana.

Zia harus meninggalkan rumah yang telah ia tempati 25 tahun terakhir. Semua barang sudah ia masukan ke dalam kardus yang tersusun rapi. Namun Zia tetap masih merasa meninggalkan sesuatu di rumah tua itu. Entah apa, ia tak mampu merabanya.

Anton yang semalam menginap telah memindahkan barang itu ke mobil pick up terbuka yang telah siap setengah jam lalu. Zia masih memandang ujung jalan sambil sesekali menyeruput cangkir kopi ke empatnya.

“Sudah waktunya, Sayang.” Suara Anton memecahkan lamunan Zia. “Barang-barang sudah semuanya dimasukkan. Hanya kamu dan cangkir itu yang masih di luar. Ayo, nanti keburu siang.”

“Sebentar. Aku masih merasa ada yang tertinggal, namun tak tahu apa,” ucap Zia perlahan.

“Bukannya semalam kita telah sama-sama, dengan teliti, memasukkan semua barang ke kardus-kardus itu.”

“Iya, sayang. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang tertinggal.”

Anton menyerah membujuk Zia yang masih duduk dengan cangkir kopi pahitnya. Dengan gelisah, ia mendekati kekasihnya.

“Kamu tahu apa yang paling berat dari kepindahan ini?”

Anton hanya mengangkat kedua bahunya.

“Kenangan. Andai aku bisa memasukan semua kenangan dalam kardus-kardus itu.”

“Bukankah kita telah membicarakannya semalam? Kau tak bisa selamanya hidup dalam kenangan, Zi.”

“Iya aku tahu. Tapi biarlah sejenak aku duduk di kursi ini sebentar lagi, kursi yang dulu sering menidurkan aku di pangkuan ibu.”

Zia kembali terdiam, mengingat betapa setia ibu menantikan pulang ayah di kursi itu sampai Izrail menjemputnya tiga tahun lalu. Sudah 15 tahun ayah tak pulang. Saat kematian ibu pun tidak. Zia tak pernah tahu di mana ayahnya. Hanya bisik tetangga yang memberinya petunjuk; Ayah pergi ke seberang bersama perempuan simpanannya.

Betapapun bisikan tetangga selalu melewati telinga Zia dengan sembunyi, ia tak pernah percaya bahwa ayahnya selingkuh. Namun sejak kematian ibu, ia bertekad untuk selalu membenci ayah. Membenci segala kepahitan yang diderita ibu.

“Kau mau berjanji satu hal padaku?”

“Berjanji apa?”

“Kau akan pulang lebih cepat dari kedatangan Izrail kepadaku.”

“Pasti. Aku akan selalu pulang. Pun jasadku terlambat datang, tapi percayalah, jiwaku akan selalu di rumah,” tangan Anton menunjuk dada Zia.

Air mata Zia menetes. Melihat kekasihnya menangis, Anton berdiri. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang kosong itu dengan tatapan tajam. Tak lama, kembali ia keluar.

“Tak perlu kardus untuk membungkus semua kenanganmu. Aku sudah merekam semuanya dalam mataku. Kalau kelak kau merindukannya, tataplah mataku.”

Zia tersenyum mendengar ucapan Anton barusan. Segera dihabiskannya kopi pahit yang masih tersisa.

“Ayo. Aku sudah siap untuk jalan.”

“Kau tak mau membawa cangkir itu?”

“Biarlah cangkir itu tetap setia di sini. Biar kelak, kalau ayah pulang dan rindu padaku, ia bisa menatap cangkir itu. Sisa kepahitan dari kopiku tadi masih ada di dindingnya.”

1 komentar: