Laman

Selasa, 29 Juli 2014

Menjadi Anak-anak

Bahagia itu Sederhana

Idul Fitri telah datang. Anak-anak terlihat ceria dan gegap gempita dengan pakaian barunya. Sesungguhnya mereka sangat bahagia. Di dalam saku baju dan celananya terdapat banyak sekali amplop hasil pemberian sanak-saudara. Mereka bisa membelanjakan apa saja dengan uang itu. Permen, mainan baru, jersey sepakbola, char point blank, chip poker facebook, apa saja, apapun itu.

Keceriaan mereka adalah gambaran betapa nikamatnya kehidupan. Inilah kehidupan yang ditunggu semua orang. dimana sukacita dan tawa ada di dalamnya. Siapa yang tak ingin momen-momen seperti itu? Semua orang ingin menjadi seperti itu. Sungguh

Michael Jackson sendiri ingin terus menjadi anak-anak. Menjadi anak-anak akan membuat kita bebas seperti burung di angkasa luas. Mengepakan sayap kemanapun angin membawa. Namun yang pasti, seiring berkembangnya usia, kita dituntut untuk menjadi dewasa. Menjadi dewasa memang menyebalkan. Kita harus bertanggung jawab penuh. Bekerja dibawah arahan bos yang memuakan, menjadi robot bernyawa dalam jam-jam tertentu, harus berpartisipasi dalam rangka mengisi kemerdekaan, belajar demi mendapatkan hasil yang memuaskan hasrat terpenda. Ah, itu menyebalkan.

Sesungguhnya konsep hidup adalah bersenang-senang. Bekerja itu tidak menyenangkan. Tanyakan saja pada mereka yang lama mengabdi atas nama eksistensi dalam sebuah pergulatan waktu di meja kerja. Seorang pekerja hanya diapresiasi oleh setumpuk uang yang tak seberapa. Untuk makan saja kurang, apalagi harus menikah, bayar sekolah anak, bahkan untuk membeli narkoba dan bergaya ala Doherty ataupun Cobain saja tidak bisa.

Ah, masa kanak-kanak, seandainya ada mesin waktu. Kita akan mencoba memutar kembali kehidupan itu.

Senin, 28 Juli 2014

Ceramah Sastrawi

Solat Ied baru saja dilakukan. Orang-orang yang menghampar di lapangan belum juga pulang. Mereka harus mendengar ceramah dahulu sebelum bermaafan dengan sanak saudara di rumah pun makam.

Dengan kacamata hitam kecoklatan, kopiyah putih dang tongkat –entah untuk apa- di tangan kanan, sang khotib mulai menaiki mimbar. Puji-pujian serta salam terus-menerus dipanjatkan. Mukanya menghadap hadirin yang datang, namun agak tunduk melihat cacatan. Matanya yang terhalang kacamata hitam kecoklatan, jarang menatap jamaah. Keduanya terus fokus pada catatan.

Ia menggambarkan suasana takbir dari malam hingga pagi itu. Dengan sedikit sentuhan sastrawi dan nada suara datar, ia mencoba menunaikan tugasnya pagi itu. Katanya semua hanya fatamorgana, tanpa makna. Banyak sekali kata tanpa makna terucap dari bibirnya.

Pendengar lebih banyak yang membaca korang untuk alas sajadahnya ketimbang menatap wajah khotib yang mululu tunduk menuju catatan. Saya mendengarkan jelas, namun hanya sesekali lewat. Yang saya ingat, kata tanpa makna itu selalu terucap.

Ah, ceramah solat Ied tahun ini memang tanpa makna. Khotib nampaknya tak membuat benang merah dari apa yang disampaikannya. Pujian dan salam yang terlantunkan hanya sebatas bacaan. Catatan yang dilisankan.

Syahdan, pada penghujung ceramah, khotib mengajak hadirin mengangkat kedua tangan untuk berdoa. Meminta ampun kepada Tuhan. Suaranya disedih-sedihkan. Haru sekali nampaknya beliau. Namun, seorang bapak yang duduk di sebelah saya, hanya mengucap “amin” berulang-ulang di antara jeda kalimat sang khotib. Tak ada sedikit pun rasa haru yang kelihatan. Tanpa makna.

Ah, percobaan ceramah sastrawi pagi itu, saya rasa, gagal. Tak mengikat emosi. Hanya sebatas teks yang dihafal. Tanpa makna.

Jelang Manchester City kontra Ac Milan dalam Guinnes Cup 2014

Daftar peserta turnamen Guinnes Cup


Duel kedua tim besar akan digelar pagi ini. jawara Inggris 2013/14, Manchester City akan menjamu raksasa Italia, Ac Milan dalam laga pramusim Guinnes Cup di Amerika Serikat. Sebelumnya, kedua tim pernah bertemu tahun lalu pada ajang Audi Cup yang kala itu digelar di Jerman. City berhasil menang 5-3 atas setan merah dari Italia ini. sudahlah tak perlu lagi dibahas. Pertandingannya pun sudah lewat.

Ajang Guinnes Cup sendiri bisa dibilang sebagai Liga Champions versi mini. Lihat saja tim tim yang berlaga di dalamnya. Kita bisa melihat tim semacam Real Madrid, Arsenal, Liverpool, Inter, Man United, Roma, hingga Olympiacos hadir untuk meramaikan turnamen produsen bir asal Dublin ini. semua nama tadi adalah tim yang kerap mengisi fase grup Liga Champions. (Walaupun musim ini duo Milan telah masuk kedalam pengecualian peserta UCL).

Pagi ini kedua tim akan bersua. Milan akan memulai penampilannya dibawah sang arsitek anyar sekaligus legenda hidupnya, Fillipo Inzaghi. Milan diprediksikan akan tampil dengan Spartan demi melupakan mimpi buruk mereka musim lalu. Il Diavallo Rosso tak tampil di Eropa musim depan, mengikuti jejak sang tetangga, Internazionale. Pertandingan ini tentu saja akan menjadi gambaran kekuatan Milan musim depan. Hengkangnya Richardo Kaka (dan kemungkinan besar Robinho menyusul) ke MLS bukan soal, mengingat Milan sendiri telah menggaet kekuatan baru semisal Menez dan Alex dari tim petrodollar Prancis, Paris Saint Germain. Keduanya akan bersinergi bersama para andalan musim lalu semacam Montolivo, Abbiati, Abat, Nigel de Jong hingga si apel busuk Ballotelli.

Ballo dan de Jong sendiri akan bertemu mantan rekan setimnya dulu. Saya tentu berharap Fernando Reges/Zabaleta mampu mematahkan kaki Ballotelli. Tentunya jika hal tersebut terealisasi, ia diprediksi batal pindah ke Arsenal yang notabene adalah rival utama City di ranah ratu Elizabeth. Dengan patahnya kaki Ballo, Joe Hart sudah pasti tak perlu gelisah lagi gawangnya akan dibobol oleh eks pemain Inter tersebut. Sudahlah, paragraf ini tidak terlalu penting untuk dibaca.

City sendiri sedang dalam kepercayaan diri tinggi. Kemenangan 1-4 atas Sporting Kansas City telah menaikan mental mereka pasca dikandaskan Dundee United beberapa pecan lalu. Pellegrini sendiri dikabarkan cukup puas dengan performa anak asuhnya sejauh ini. bahkan the Charming Man asal Chile ini sudah sesumbar akan target the Sky Blues musim depan, mempertahankan gelar EPL dan melangkah lebih dauh di Liga Champions. Target tersebut masih relevan untuk diterima akal sehat. Mengingat City memiliki kekuatan untuk mencapai hal tersebut.

Pertandingan ini tak lebih dari sekedar menguji kesiapan tim demi menyongsong musim baru. Kabar teranyar menyebutkan, City akan memakai seragam away mereka untuk musim depan. Ah sudahlah, seragamnya biasa-biasa saja. Saya hanya menunggu skema apa yang nantinya akan diterapkan Pellegrini dalam match pagi ini. sialnya lagi, Match ini akan menganggu stabilitas waktu saya sebagai umat muslim. Karena aka nada jadwal yang lebih penting daripada match ini, mengikuti solat Idul Fitri di Masjid terdekat.

Minggu, 27 Juli 2014

Takbir yang banal


Suasana Takbiran



Sore itu Adzan Magrib telah berkumandang, umat muslim di seputaran kota mulai melepaskan dahaga, lapar dan nafsu yang tertunda saat berpuasa. Kebetulan, ini adalah hari terakhir berpuasa. Kurang lebih 30 hari seluruh umat muslim menunaikan ibadah tahunan ini. Kemenangan sudah tiba. Ramadhan pun pergi dengan anggunnya seiring penetapan lebaran esok hari oleh menteri Agama dan koleganya beberapa menit yang lalu.

Lengkingan takbir mulai berkumandang di setiap sudut jalan. Panggung-panggung telah berdiri tegak di sisi jalan. Suara bedug saling bersahutan dengan lafaz tuhan yang diperdendangkan dengan gembira. Kembang api mulai ditembakan ke udara. Merah, kuning, hijautbiru dan magenta menjadi satu kesatuan utuh untuk mewarnai langit malam itu. Sungguh pemandangan yang banal.

Namun, semua yang bergembira di sudut jalan adalah gambaran betapa mubazirnya malam takbir. Mereka terus mengulang kebiasaan para leluhurnya yang aneh. Membuang tenaga dan uang demi malam takbir adalah perbuatan mubazir, dan perbuatan mubazir sesungguhnya sangat dekat dengan kesengsaraan. 

Apakah mereka sadar bahwa kemenangan yang mereka rayakan adalah semu? Bukankah kita tak pernah tahu berapa jumlah puasa yang diterima tuhan selama kita menjalankannya? Introspeksi adalah jalan terbaik demi menenungi setiap langkah dan perbuatan yang kita lalui selama kurang lebih sebulan ini.

Bukankah lebih baik kita mengumandangkan ayat-ayat kitab suci dalam kamar demi mengisi kemenangan ini? bukankah kita seharusnya lebih banyak memohon ampunan kepada tuhan? Bukankah ramadhan adalah waktu yang baik untuk mengisi itu semua? 

Ah sesungguhnya esok hari kita semua akan terlihat baru. Dengan pakaian yang sudah kita beli jauh-jauh hari demi menyambut lebaran. Bukankah seharusnya jiwa kita yang menjadi baru? Entahlah. Yang jelas, rendang dan ketupat buatan ibu sudah siap untuk santapan esok pagi setelah solat Ied.

Ah betapa sok tahunya saya, maafkanlah. Sesunggguhnya manusia tempatnya salah dan lupa.

Komedi

Malam.
Panggung gelap. Lampu sorot menyala..
Di tengah ada kursi kosong,
hadirin tertawa.

Aktor pertama masuk dengan jubah kebesaran.
Hadirin kembali tertawa..
Si aktor lupa naskah.
Hadirin tertawa lebih keras..

Si aktor kebingungan di atas panggung.
Lampu sorot masih menyorot.
Pelunya keluar, kecil-kecil seperti biji jagung,
hadirin tertawa bahak

“Lucu sekali pertunjukan ini,” kata perempuan
di bangku tengah penonton.

Dari dalam paraskene, tendengar ledakan..
Para penonton masih berguling-gulingan
di atas bangku yang disediakan.

Panggung terbakar. Tirai tertutup.
Di depan, para penonton melihat
pada poster pertunjukan;
Drama Kolosal.

Pagi.
Surat kabar minggu selalu dinanti.
Tak ada ulasan pertunjukan pada rubrik kehidupan.
Di halaman depan; Gedung Kesenian Terbesar Habis Dimakan Api
Ratusan pekerja seni mati dalam pertunjukan komedi.

Sehari sebelum lebaran.

Sabtu, 26 Juli 2014

Batu

Sekarang adalah jamannya batu. Tua, muda, mereka semua berbatu. Tak ada ketetapan nilainya. Asal pandai bicara, kaya bukanlah mustahal. Di tengah merebaknya para penjaja batu, saya ingin bercerita tentangnya. Tentang batu. 

Teman saya, Fulan, adalah orang yang pragmatis. Falsafah hidupnya adalah kerja dulu baru mikir. Menerut dia, asal ada kemauan pasti ada jalan. Salah satu kelebihannya yang adalah, ia pandai bicara layaknya seorang motivator. Saya pun kadang terlena dalam begitu banyak analogi tentang kehidupan yang dipaparkannya.

Dalam perjalanannya, Fulan bertemu dengan jaman batu. Jaman di mana orang-orang memakai batu di jari atau dikalungkan di leher. Ia pun menjadi penjaja batu. Semua orang ditawarkan batu koleksinya. Saya pernah ditawarinya juga, namun saya menolak. Saya merasa tak perlu batu.

Ada temannya yang pernah bertanya serius kepadanya; “Mas, gue sama sekali gak ngerti batu nih. Terus menurut lu, kenapa gue harus beli batu yang lu jual?”

Dengan segala analogi dan motivasi yang diberikan, jawaban dengan mudah dikeluarkan Fulan menjawab pertanyaan temannya. Temannya menyimak serius. Namun akhirnya ia tak membeli batu itu. Fulan kali itu gagal.

Namun Fulan bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia terbilang cukup sukses untuk penjaja batu pemula. Katanya, dengan menjual satu batu, ia dapat membeli telepon pintar baru. Fulan memang pebisnis yang pragmatis. Ia sebenarnya hanya mempraktikkan ilmu retorika yang dimilikinya. Dan memang, seorang penjaja yang baik adalah penjaja yang pandai beretorika.
***
“Memang pada dasarnya manusia itu suka pada sesuatu yang tak berguna,” ucap teman saya yang lain pada Minggu malam di bilangan Lenteng Agung.

Saya diam. Sesekali tertawa namun tetap menyimak.

“Lu pada tau sejarahnya emas?” tanyanya.

“Gak tau, mas. Emang gimana sejarahnya?” celetuk yang lain sambil tertawa.

“Dulu itu ada yang seorang raja bernama Midas, ia ingin segala sesuatu yang dipegangnya menjadi emas. Dewa mengabulkan permintaan emas itu. Orang itu senang. Ia melihat segala sesuatu yang dipegangnya menjadi emas. Ia suka segala yang berkilauan.

“Tapi setelah beberapa lama, ia akhirnya sadar, kalau emas tidak berguna untuk hidupnya. Semua makanan yang disentuhnya menjadi emas. Ia menyesal. Tangan emas itu menjadi anugrah sekaligus kutukan.

“Sekarang ibaratnya sih sama aja kayak batu. Lu tau kan kalau batu gak ada nilai pastinya. Semakin orang pinter ngomong, semakin banyak untungnya. Yang beli itu orang-orang gila. Dia rela ngeluarin duit jutaan buat beli sesuatu yang gak berguna. Dan itu memang sifat dasar manusia.”

Ucapannya disertai dengan banyak tawa. Semua yang mendengar juga tertawa. Minggu malam itu memang kami sedang pesta tawa. Dan yang saya mengerti malam itu, tertawa juga sifat dasar manusia.

Seperti kegemaran manusia menghendaki sesuatu yang tidak berguna.

Jumat, 25 Juli 2014

Sedikit tentang Pablo Zabaleta



Ia hanya didatangkan dari Espanyol, tim Catalan yang selalu berada di bawah telapak kaki Barcelona. Harganya hanya sekitar 7 juta Euro, harga yang sangat kecil untuk standar pemain yang bergabung di skuad mahal the Eastlands. Namun seiring berjalanya waktu, ia berhasil membuktikan bahwa harga murah tak selalu menjadi alasan untuk bermain standar. Ia berhasil membuat Verdran Corluka angkat kaki dari Carrington dan membuat si anak asli akademi, Micah Richards harus bersandar melepas penat di bangku cadangan (walaupun sebenarnya Richards sendiri sering mengalami cidera kambuhan). Ia adalah salah satu pembelian berhasil dari Mark “fuckin” Hughes, pelatih yang terkenal sering menghambur-hamburkan uang saat menahkodai the Sky Blues.

Ia menjadi andalan fullback sisi kanan Manchester City di era kepemimpinan Hughes, Roberto Mancini, hingga Pellegrini. Inkomsistennya Micah Richards membuatnya menjadi prioritas pelatih-pelatih City yang saya sebutkan diatas untuk memasangnya sebagai Fullback penghalau serangan lawan. Kecepatannya mungkin tak sebanding dengan Dani Alves. Permainannya mungkin tak seindah Alvaro Arbeloa. Visi permainannya tak secanggih si legendaris Garry Neville. Namun, Zabaleta memiliki determinasi tinggi yang mungkin tak dimiliki ketiga orang yang saya sebut diatas.

Untuk seorang yang lahir di Argentina, sosoknya menjadi sebuah ambiguitas tersendiri. Kita semua tahu bahwa pemain asal negeri Diego Maradonna itu selalu tampil santun dan menawan kala bermain. Lihat saja sosok macam Javier Zanneti, Juan Riquelme, hingga Lionel Messi, semuanya adalah tipikal pemain Argentina “yang baik.” Sosok Zabaleta mungkin cenderung mengarah pada legenda Tanggo yang undetect macam Juan Pablo Sorin ataupun Diego Simeone yang kerap bermain brutal dan membuat lawan segan untuk mencari masalah dengan merek. Zabaleta sendiri lebih kepada steriotip orang Inggris yang cenderung brutal dan temperamental, tak jarang kita selalu melihat Zaba terkena kartu kuning di setiap pertandingan Manchester City. Itulah kelebihan Zabaleta daripada fullback sepakbola modern saat ini.

Pada Piala Dunia 2014 kemarin, Alejandro Sabella membuat sebuah kesalahan. Ia meminimalisir pergerakan offensive Zaba ke kotak pinalti lawan. Sabella lebih percaya kepada sosok Angel di Maria sebagai konduktor serangan Argentina dari zona sayap. Zabaleta tak bermain maksimal di Piala Dunia. Mungkin inilah salah satu penyebab terjungkalnya Argentina di Final (selain faktor Messi-sentrisme, tentunya).

Dan jendela transfer musim dingin dibuka. City telah memastikan kehadiran Bacary Sagna ke Etihad. Pola permainan Sagna dan Zaba sekilas mirip. Mereka juga menempati posisi yang sama. Keduanya sering melakukan overlap ke daerah pertahanan lawan. Namun saya tak pernah khawatir soal posisi Zaba. Ia mungkin akan terus menjaga sisi kanan City di musim 2014/15. Hanya cidera, akumulasi dan tuhan yang bisa menghentikan Zabaleta. Saya juga berani menjamin, Zaba akan pensiun bersama City dikemudian hari. Bahkan saya beharap, ialah kapten yang ideal untuk Manchester City. Ia mungkin hanya kalah populer dari Vincent Kompany dan Yaya Toure dalam hal pemilihan kapten.


Aku, Kamu, Pram dan Mario

copyright by bowo bagus*

“Aku suka ucapannya,” katanya pagi itu.

“Mengapa kamu masih saja mendengarnya sih? Berapa banyak orang-orang sabar yang akhirnya tak bisa merdeka? Manusia adalah makhluk berbudaya. Ia berdialektika, menggabungkan antara tesis dengan antitesis sehingga menjadi sintesis. Begitu seterusnya. Hal itu tidak mengalir begitu saja. Tesis adalah kebiasaan. Antitesis lahir dari perlawanan. Kita tak bisa selallu mendengar. Harus melawan agar sintesis baru lekas ditemukan,” bantahku kepadanya.

Ia diam dalam waktu yang lama. Cukup lama hingga tak ada kabar berita, sampai aku merasa menang dalam satu pernyataan sekaligus pertanyaan. Memenangkan sebuah pertarungan psikologis antara aku dan dia.

Haters gonna hate,” ucapnya pelan, membuyarkan kesepian.

“Aku tidak membenci Mario, sayang. Tapi memang itulah adanya. Aku lebih suka membaca Pram. Pram yang menulis Minke. Pram yang menceritakan perlawanan. Pram yang dibuang. Pram yang serba pahit.”

Ia kembali diam. Aku melangit, merasa menang untuk yang kedua kalinya.

“Mario selalu berucap kalau ia tak pernah membenci orang yang menghina nasihatnya. Ia selalu menganggap semua orang baik. Menurutnya, orang yang menghina nasihatnya adalah orang yang belum diberikan hidayah oleh Tuhan. Dan ingat, tidak ada orang-orang yang hidupnya baik kalau ia menghina seorang penasihat.”

“Aku tidak membenci Mario. Aku hanya tidak suka.” Aku mengambil rokok dalam bungkus yang bergambar seorang bapak merokok saat menggendong anaknya, lalu melanjutkan, “Kau pernah dengar seorang mahasiswa yang hanya nangkring di menara gading? Ia adalah pemuda beruntung karena memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, namun pikirannya tak pernah membumi. Ia selalu membahas segala teori-teorinya dengan sesamanya. Tak pernah mereka ke lapangan, melihat bagaimana mustahilnya membayangkan seorang Jean Paul Sartre dapat dilahirkan di tengah lingkungan kumuh, di Kapuk, Jakarta Utara.”

Aku menyalakan rokok yang tadi kuambil, lalu melanjutkan, “Bukankah kemarin sudah kuceritakan padamu tentang Minke? Ia melawan, sayang. Tak perlu ia mendengar ceramah Mario untuk melawan. Ia hanya melihat ketidakadilan, dan melawan. Sesimpel itu. Dan kenyataannya, kesederhanaan adalah hal yang rumit.”

Ia diam, seperti menyimak. Aku merasa semakin menang.

“Ayolah, sayang, kau tak perlu terlalu percaya kepada ucapan seorang Mario. Kau memiliki dua telinga. Matamu pun dua. Kau hanya perlu melihat realita itu dan langsung mendengar kehidupan dari bumi. Bukan dari orang yang berdiri di atas mimbar.”

Haters gonne hate,” ucapmu lebih kencang dari yang pertama. Hampir teriak.

Aku kaget. Untuk beberapa saat aku kehilangan merasa di bawahnya. Kuhisap rokokku yang sudah menyala untuk membantu membuatku tenang, mencari bantahan lainnya.

“Kamu hanya membenci Mario. Betapapun Mario berucap sesuatu yang sangat benar, kau tetap akan membencinya. Tak ada obat untuk seorang pembenci sepertimu.”

Ucapannya seperti rentetan peluru yang ditembakkan ketika aku lengah. Aku menarik napas dalam-dalam. Merenungkan. Apaka benar aku seorang pembenci, batinku. Dalam keadaan seperti ini, batinnya pasti mengembang kemenangan. Memang benar, aku sedang diserang.

“Kamu selalu membandingkan Mario dengan Pram. Padahal kamu tahu, di dunia ini tak ada sesuatu yang bisa dibandingkan. Bahkan seorang anak yang kembar siam pun tidak mau dibandingkan dengan kembarannya. Itu tidak adil. Kamu selalu memandangku sebelam mata kalau aku mengutip Mario. Kamu egois.”

Matanya memerah. Entah sedih atau marah. Mungkin kolaborasi antara keduanya. Kali ini aku yang diam.

“Aku hanya tidak suka melihat orang-orang hanya diam ketika dirinya ditindas. Dan yang aku tahu, dalam setiap ucapan Mario, selalu menyuruh kita pasrah. Katanya, Tuhan hanya menguji mereka yang mampu lulus. Lantas, apa mereka yang tidak lulus hanya kambing percobaan Tuhan sebagai penggembira ujian? Hidup bukanlah sebuah kompetisi seperti ujian, di mana yang tidak lulus dapat diremehkan. Hidup adalah.. aku pun belum bisa mendifinisikannya.” Rokok yang belum habis itu kumasukkan dalam asbak kecil di atas meja.

“Terus?” tanyamu singkat.

Pertanyaan itu adalah sebilah pisau menuju tepat ke jantungku. Aku menyerah. Aku kalah.

Kedua tangannya langsung kupengang. Kepalaku kudekatkan ke kepalanya. Mataku tajam melihat matanya yang besar. Dalam hening, aku kuatkan tekadku, “Ini bukan perkara Mario ataupun Pram. Ini adalah antara kamu dan aku.”

Catatan:
*Copyright is only for beginner