Laman

Rabu, 02 Oktober 2013

Menanti Pernikahan Dini


Bukan, ini bukan cerita tentang sebuah pernikahan yang terlalu cepat seperti judul sinetron tahun 90’an. Ini adalah pernikahan Maharani Ardini, atau biasa dipanggil Dini.

Saat itu televisi masih menyala dengan suara pelan. Samar-samar angin menyusup lewat calah-celah antara jendela dan bingkainya. Jarum jam mengelilingi angka dengan lambat. Dini masih berbaring di kasurnya, resah gelisah menanti hari pernikahannya, layaknya menanti orang tua yang sedang menaiki tangga yang sempit. Mungkin tak sabar.

Undangan pernikahan telah tersebar. Tak jelas siapa yang terlewat tak diundang. Semua mengucapkan kata-kata yang senang. Ucapan selamat, doa, sanjungan, kekagetan, semua menyatu dalam irama yang, entah senang atau kaget, mungkln sebagin merasakan keduanya. Namun yang jelas, Dini masih resah dan gelisah, bercampur rona bahagia menjawab satu per satu ucapan yang lewat.

Berapapun semua orang senang, Dini tetap yang paling senang. Ia sudah memutuskan. Setelah ia membiarkan dirinya tersesat untuk beberapa saat, akhirnya ia pulang dengan sebuah keyakinan. Di atas kasur itu, Dini membayangkan ketika dirinya pulang beberapa hari yang lalu.

“Maaaaakkkkkk.... Aku pulang bawa keyakinan. Aku mau nikah....” ucap Dini ketika kemarin pulang.

“Alamdulillah, nak. Akhirnya kamu pulang juga,” jawab Emak dengan rona bahagia.

Dini berpanjang lebar menceritakan kisahnya kepada Emak. Kadan disisipi dengan amarah, kadang ia menangis membayangkan, kadang ia merasa senag telah pulang. Perjalanan itu telah menjadi kisah yang hari biru untuk mereka berdua.

Emak masih menghiraukan kalimat Dini yang minta menikah, ia masih tercebur dalam keharuan melihat anaknya pulang. Tapi ketika tersadar, ia kaget, namun hanya sebentar lantas ikut senang. Emak tak lagi banyak bicara. Semua sudah ditentukan. Tinggal menanti pernikahan Dini.

Semua sudah berencana untuk kebahagiaan Dini. Semua berdoa. Semua menanti.

Saat Bercermin

Aku berkaca bukan untuk ke pesta
Namun untuk memasang lensa kontak
Ini muka penuh komedo milik siapa?
Membuat ku risau, membuat mood ku rusak

Adegan Despicable Me 2: Saat Teknologi Membuat Kita Tak Bebas


Pernahkan anda menunggu-nunggu sms dari gebetan? Atau ingin meneleponnya tapi tak kuasa karena malu? Di saat-saat seperti itu, perasaan sungguh tidak enak. Kita mengharapkan sesuatu dari teknologi seolah-olah kita bergantung padanya. Dan itu membuat kita tak bebas.

Di dalam film Despicable Me 2, ada adegan yang menarik perhatian saya: ketika Gru menghancurkan telepon yang tadinya akan digunakan untuk mengajak kencan Lucy Wilde, wanita yang semula ia abaikan. Adegan itu mengingatkan saya pada persoalan di atas.

Gru adalah lelaki penyelamat dunia yang memiliki trauma dengan wanita. Lucy, sebagai wakili Liga Anti Penjahat, merekrut Gru secara paksa untuk bekerjasama dalam misi menyelamatkan dunia. Gru tidak suka caranya. Tapi lama-kelamaan, beberapa sebab membuat ia jatuh hati pada Lucy.

Gru kemudian berharap bisa mengencaninya. Namun saat ia hendak mengajak, Lucy sudah pergi ke Australia. Ia pun hanya bisa mengungkapkan harapannya lewat telepon.

Masalahnya, ia merasa tak sanggup mengatakannya. Ia bingung, malu, dan galau. Lantas dirinya pun kalut dan kacau karena perasaannya. Lalu ia memutuskan untuk membakar telepon di depannya.

Sampai di sini, ia jelas tak punya lagi alat untuk berbicara dengan Lucy. Tapi ternyata keputusan itu membuat dirinya lebih baik. Dengan membakar telepon itu, perasaan bingung, malu, dan galaunya hilang. Kekalutan dan kekacauannya pun mereda. Ia menjadi lebih tenang. Sebab dengan begitu, ia tak perlu susah-susah dan pusing memikirkan bagaimana cara mengajak Lucy berkencan.

Apa yang Gru lakukan itu barangkali bisa kita terapkan saat kita mengalami hal serupa. Saat kita merasa teknologi membuat kita tak bebas, satu-satunya cara adalah membuatnya tidak berfungsi!

Ini adegannya (saya gak ngerti cara masukin video ke sini): https://www.youtube.com/watch?v=rabsMjYnjKw