Laman
▼
Selasa, 24 September 2013
Abominasi Zine: Setitik Semangat Berbagi di Kampus Jurnalistik
IISIP Jakarta, dulu bernama Sekolah Tinggi Publistik (STP), terkenal keunggulannya di bidang jurnalistik. Pada tahun 2011,
saya masuk institusi ini dengan membawa hobi membaca dan menulis. Karena bayang-bayang
citra sebagai “kampus jurnalistik” (saya akan selalu menggunakan tanda kutip untuk istilah itu), saya mengkhayalkan
bagaimana kerasnya dinamika penerbitan/pers mahasiswa di kampus ini.
Namun apa yang
saya rasakan ternyata sebaliknya. Kampus ini sepi media mahasiswa. Pertukaran
ide melalui tulisan dan semangat berbagi informasi begitu minim. Waktu itu hanya ada
dua media cetak yang saya tahu: Eleven (milik Himajur) dan Epicentrum.
Eleven hanya dua edisi saya lihat, setelah itu seperti tak ada sampai saat ini. Saya pun mendengar kabar Epicentrum bubar. Artinya, persis tak ada media yang saya baca, saat itu.
Seiring
berjalannya waktu, saya menemukan sebuah zine keren bernama Ruang Melati. Tetapi
itu cuma satu kali. Kemudian saya menemukan Buletin Kinasih dan Berisik (milik
Kremmasi). Kedua media
inilah yang terakhir kali saya lihat. Namun di tahun 2013 semester ganjil ini,
kedua media tersebut belum lagi muncul.
Kini media-media itu seperti tak jelas nasibnya.
Di sisi lain, saya pernah
beberapa kali mendengar beberapa dosen jurnalistik mengeluh bahwa mahasiswanya
banyak yang tak bisa menulis. Barangkali ketiadaan medium pembelajaran – dalam hal
ini penerbitan mahasiswa – adalah salah satu penyebabnya. Karena, dengan adanya penerbitan mahasiswa, semua civitas akademi bisa belajar bersama mengenai jurnalisme,
khususnya tulis-menulis. Kalau sampai lulus mahasiswa IISIP masih banyak yang
tak bisa menulis, saya kira, cepat atau lambat, citra “kampus jurnalistik” yang
sudah sedemikian melekat di kampus ini akan memudar sendirinya. Pembentukan citra tak cukup dengan hanya mengandalkan wajah Andy F Noya.
Saya juga tak tahu
apakah HIMAJUR – yang (kata buku profil organisasi tahun 2011/2012) memiliki Divisi
Kajian Jurnalistik – memikirkan permasalahan ini atau tidak.
Tetapi, di samping kekecewaan saya itu, hari ini saya
mendapat hal menyenangkan: sebuah zine dari teman saya, Bayu. Yang membuat saya senang dari zine itu adalah saya mengetahui bahwa ternyata ada seorang mahasiswa IISIP yang secara mandiri membuat zine bernama
Abominasi. Dialah Bima Putra.
Saya tak mau
terlalu banyak membahas isi karena bukan itulah esensinya. Bagi saya, yang
terpenting adalah semangatnya dalam berbagi informasi serta pemikiran. Dan Bima melakukan itu dengan menyebarkannya secara gratis seperti udara! Namun secara
singkat, Abominasi fokus menulis musik-musik metal.
Yang menarik buat
saya adalah bagaimana Bima memproduksi zine 44 halaman ini sendirian. Saya melihat semangat punk dari gambar-gambar, gaya tulisan, dan layoutnya. Gambar-gambar menggunakan tangan yang terkesan sangat cuek, gaya tulisan yang bodo amat, dan layout seadanya justru membuat zine ini menjadi menarik.
Itulah kelebihan dari zine ini. Karena itu, Bima seolah-olah mencubit pipi saya, menyadarkan saya bahwa menghasilkan karya tak perlu menghamba pada otoritas dan mengemis bantuan dari orang lain. Do it your self!
Maka, di tengah sepinya terbitan di "kampus jurnalistik", Abominasi adalah setitik semangat berbagi.
Bima dapat dikontak melalui:
twitter: @abominasizine
email: zineabominasi@yahoo.co.id
Kekal
Ilustrasi: Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit
“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat
perpisahan,” Rani terkejut saat suara itu menggema di kamarnya.
Seperti biasa, setelah mendengar suara-suara di kamarnya,
Rani lantas menggelar sajadah dan berdoa meminta perlindungan dalam malam yang
sunyi, saat hanya suara binatang yang terdengar. Rani sudah tahu pasti bahwa
suara itu akan menghilang dengan sendirinya setelah ia berdoa. Saat suara itu
menghilang, Rani mencoba untuk kembali ke ranjangnya dan menutup tubuhnya
dengan selimut hangat. Ia kembali tidur.
Sinar mentari mulai kembali lewat lubang-lubang yang
menganga di antara kayu-kayu jendela. Perlahan, hangatnya mentari menyentuh
kelopak mata Rani yang masih tertutup. Tak ada suara burung berkicau yang ikut
menyapa paginya. Hanya suara dering alarm dari telepon genggam yang membuatnya
sadar. Rani duduk sejenak di atas ranjang. Ia masih mengingat malam-malamnya
yang menyeramkan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membasuh tubuhnya dengan
air yang masih dingin.
“Dalam ketenangan ini, akan kubacakan dosa-dosamu,” suara
itu muncul lagi.
Rani yang tubuhnya masih basah, lantas kaget mendengar suara
itu. Tak biasanya suara itu muncul di pagi hari. Itu adalah pertama kalinya
suara aneh itu muncul di pagi hari. Rani mencoba tenang. Ia mengambil sajadah
dan langsung berdoa. Namun, kali ini suara itu semakin kencang.
“Aku bukan iblis yang bisa kau usir dengan doa,” suara itu
menantang.
Rani tetap berdoa. Suara itu semakin kencang dan semakin kencang
lagi. Rani melafalkan doanya semakin kencang, mencoba mengalahkan suara itu. Hingga
akhirnya ia tidak tahan lagi.
“Aaaaaaggghhhhhhhhh!!!!!!!!”
“Aku akan membacakan dosa-dosamu selama di dunia.”
“Hentikan! Hentikan! Jangan bicara lagi!”
“Wahai manusia, sadarlah! Kematian akan datang, dan aku akan
membacakan semua dosa-dosamu.”
“Ampunnnn.....”
***
Warga kampung terlihat tegang. Bendera kuning telah
terpasang di jalan-jalan yang mengubungkan ke rumah Rani. Orang-orang tua
berlalu-lalang, sedangkan yang muda sedang sibuk meminjam keranda mayat dari
kampung sebelah. Langit yang cerah mendadak hujan.
“Siapa yang meninggal?” tanya Tika, yang baru pulang kuliah,
kepada sorang pemuda yang sedang memasang bendera kuning.
“Gak tau, saya hanya disuruh pasang. Pasti ada yang
meninggal,” jawab pemuda itu singkat dengan tatapan mata yang menyeramkan.
Tika lantas meninggalkan pemuda itu dengan cepat, mengikuti
arah benra kuning yang terpasang. Ia berjalan melewati jalan-jalan sempit. Pikirannya
masih terbayang dengan tatapan pemuda yang menyeramkan tadi. Ia baru pertama
kali melihat pemuda itu di kampungnya.
Sudah setengah jam ia berjalan, namun rumah duka tak juga
ditemukan. Tikatetap berjalan dengan penuh keyakinan. Sampai di persimpangan,
berdera kuning tak ada kelanjutan. Tika malah tersasar entah dimana. Saat menegok
ke belakang, bendera kuning yang sebelumnya menyangkut di tiang-tiang listrik
tiba-tiba menghilang. Tika panik. Ia melihat ke sekitar, namun tak ada seorang
pun yang nampak. Langit yang carah namun meneteskan air hujan mendadak gelap.
Tika berdoa dalam hatinya meminta perlindungan. Ia mencoba
tenang.
“Dalam kesunyian ini, akan kubacakan sebuah kalimat
perpisahan,” suara itu muncul dibarengi petir yang menyambar.
Tika yang berusaha untuk tenang tak bisa menahan kuasanya
untuk berteriak. Ia meraung, meminta pertolongan kepada siapa saja.
***
Semuanya terjadi begitu cepat. Semua gelap. Yang terdengar
adalah raungan kesakitan yang terasa sangat dekat. Suara-suara minta ampun
sangat jelas terdengar. Bau busuk tak mau ketinggalan untuk mengambil bagian. Hawa
panas menjaral dari ujung kaki sampai pangkal ubun-ubun. Yang terasa hanyalah
suara, bau busuk dan hawa panas yang menyakitkan. Dalam kegelapan itu, suara
itu muncul lagi.
“Ini adalah ganjaran bagi kalian yang hanya berdoa saat
kesusahan. Nikmatilah! Nikmatilah segala hal yang pernah kalian lakukan.”