IISIP Jakarta, dulu bernama Sekolah Tinggi Publistik (STP), terkenal keunggulannya di bidang jurnalistik. Pada tahun 2011,
saya masuk institusi ini dengan membawa hobi membaca dan menulis. Karena bayang-bayang
citra sebagai “kampus jurnalistik” (saya akan selalu menggunakan tanda kutip untuk istilah itu), saya mengkhayalkan
bagaimana kerasnya dinamika penerbitan/pers mahasiswa di kampus ini.
Namun apa yang
saya rasakan ternyata sebaliknya. Kampus ini sepi media mahasiswa. Pertukaran
ide melalui tulisan dan semangat berbagi informasi begitu minim. Waktu itu hanya ada
dua media cetak yang saya tahu: Eleven (milik Himajur) dan Epicentrum.
Eleven hanya dua edisi saya lihat, setelah itu seperti tak ada sampai saat ini. Saya pun mendengar kabar Epicentrum bubar. Artinya, persis tak ada media yang saya baca, saat itu.
Seiring
berjalannya waktu, saya menemukan sebuah zine keren bernama Ruang Melati. Tetapi
itu cuma satu kali. Kemudian saya menemukan Buletin Kinasih dan Berisik (milik
Kremmasi). Kedua media
inilah yang terakhir kali saya lihat. Namun di tahun 2013 semester ganjil ini,
kedua media tersebut belum lagi muncul.
Kini media-media itu seperti tak jelas nasibnya.
Di sisi lain, saya pernah
beberapa kali mendengar beberapa dosen jurnalistik mengeluh bahwa mahasiswanya
banyak yang tak bisa menulis. Barangkali ketiadaan medium pembelajaran – dalam hal
ini penerbitan mahasiswa – adalah salah satu penyebabnya. Karena, dengan adanya penerbitan mahasiswa, semua civitas akademi bisa belajar bersama mengenai jurnalisme,
khususnya tulis-menulis. Kalau sampai lulus mahasiswa IISIP masih banyak yang
tak bisa menulis, saya kira, cepat atau lambat, citra “kampus jurnalistik” yang
sudah sedemikian melekat di kampus ini akan memudar sendirinya. Pembentukan citra tak cukup dengan hanya mengandalkan wajah Andy F Noya.
Saya juga tak tahu
apakah HIMAJUR – yang (kata buku profil organisasi tahun 2011/2012) memiliki Divisi
Kajian Jurnalistik – memikirkan permasalahan ini atau tidak.
Tetapi, di samping kekecewaan saya itu, hari ini saya
mendapat hal menyenangkan: sebuah zine dari teman saya, Bayu. Yang membuat saya senang dari zine itu adalah saya mengetahui bahwa ternyata ada seorang mahasiswa IISIP yang secara mandiri membuat zine bernama
Abominasi. Dialah Bima Putra.
Saya tak mau
terlalu banyak membahas isi karena bukan itulah esensinya. Bagi saya, yang
terpenting adalah semangatnya dalam berbagi informasi serta pemikiran. Dan Bima melakukan itu dengan menyebarkannya secara gratis seperti udara! Namun secara
singkat, Abominasi fokus menulis musik-musik metal.
Yang menarik buat
saya adalah bagaimana Bima memproduksi zine 44 halaman ini sendirian. Saya melihat semangat punk dari gambar-gambar, gaya tulisan, dan layoutnya. Gambar-gambar menggunakan tangan yang terkesan sangat cuek, gaya tulisan yang bodo amat, dan layout seadanya justru membuat zine ini menjadi menarik.
Itulah kelebihan dari zine ini. Karena itu, Bima seolah-olah mencubit pipi saya, menyadarkan saya bahwa menghasilkan karya tak perlu menghamba pada otoritas dan mengemis bantuan dari orang lain. Do it your self!
Maka, di tengah sepinya terbitan di "kampus jurnalistik", Abominasi adalah setitik semangat berbagi.
Bima dapat dikontak melalui:
twitter: @abominasizine
email: zineabominasi@yahoo.co.id
TAI LO
BalasHapus