Orang sok tau adalah orang yang
paling menyebalkan sedunia akhirat buat gue. They make things seems harder to
be explained. Sesuatu yang biasanya terasa mudah untuk dikerjakan, apabila
dijelaskan kepada orang sok tau, akan menjadi sangat sulit bahkan ketika baru
sampai pada tahap penjelasan.
Laman
▼
Senin, 16 September 2013
Sementara Menunggu Riko
Di pinggir jalan dekat pohon yang beridiri gagah, sambil
duduk di gundukkan tanah, Estragon mencoba melepas sepatunya. Dibetotnya dengan
kedua tangannya disertai mendesah. Setelah istirahat sejenak, dicobanya lagi
melepaskan sepatu –begitu terus, berulang-ulang sampai Vladimir masuk. Lalu,
lakon Menunggu Godot pun dimulai.
Saya belum pernah menonton lakon karya Samuel Beckett itu
secara langsung. Saya hanya pernah membacanya, itu pun belum sampai tuntas. Namun
katanya, Godot tak pernah muncul –dan tak ada yang tahu siapa itu Godot. Padahal
Vladimir dan Estragon begitu setia menantikan kehadirannya, pun mereka bebas
untuk meninggalkan tempat penantian Godot.
Ah, terlalu sok tahu kalau saya menceritakan sebuah karya
sastra, yang saya sendiri belum tamat membacanya. Lagi pula, mungkin ada ribuan
ulasan tentang naskah Menunggu Godot.
Saya akan bertutur tantang langit saja. Ah, langit sedang hitam. Hanya bulan
yang tampak di kejauhan. Sepertinya tema langit sedang tak mau diajak bercanda –padalah
saya sedang ingin bercanda. Atau bercarita tentang absurditas yang semakin lama
menjadi dekat dengan kita. Misalnya? Saya adalah pencari contoh yang buruk,
jadi sulit untuk menampilkan misal.
Yasudahlah, mau tak mau, lagi dan lagi, Riko menjadi bahan.
Lagi pula saya sudah menulis nama Riko sebagai judul.
Beberapa hari terakhir ini saya menunggu Riko. Bukan. Bukan
karena karena urusan bisnis yang belum terselesaikan, namun karena sebuah
romansa sederhana melalui media 140 karakter, bernama Twitter. Riko bukan Godot
yang absurd nan menjengkelkan. Riko adalah manusia utuh yang bisa sedikit main
gitar dan sangat protektif terhadap air mineral.
Sudah lebih dari dua hari saya tidak melihat Riko membuat
kata-kata –brengsek- di Twitter. Bahkan di dunia nyata, sudah seminggu lebih
saya tidak bertemu dengannya. Ada yang bilang kalau Riko sakit, tapi ia tak mau
dijenguk. Padahal ingin sekali saya membawakan jamu-jamu pilihan dari
perempatan yang memisahkan jalan menuju Pasar Rebo, Cijantung, Cililitan, dan
Kampung Rambutan.
Riko adalah superstar, orang yang saya kenal baik dari
sekolah dasar hingga sekarang. Keinginannya sederhanya. Hanya membakar sampah di
sebuah tong kosong agar terlihat seperti kebiasaan orang-orang di luar negeri –hal
ini disebabkan karena ia sering melihat film-film Hollywood, banyak orang-orang
berkumpul dan berdendang melingkari tong yang mengeluarkan api, dan itu
terlihat keren.
Ah, Riko. Kembalilah muncul ke permukaan! Paling tidak
menulislah kejujuran di Twitter. Saat orang-orang banyak berbicara tentang
Tuhan, paradoks, rasionalis, jadwal kuliah, habib yang meninggal, atau bahkan
polisi yang dibegal, kau hanya berbicara tentang kejujuran. Yang lain masih
berkicau mengenai tentang tren vickinisasi, sampai ada yang ngetwit lagu 'Karma
Police' Radiohead dengan kata “Karma polish! !” yang entah apa maksudnya. Saat yang
lain sibuk dengan segala hal yang aktual nan absurd, sementara saya hanya masih
menunggu Riko!
Matahari Abadi yang Terbit di Kepala
Seperti yang sudah saya bilang, di projek tiga puluh hari menulis edisi ke dua ini, saya akan lebih banyak menulis cerita tentang apa saja, dengan cara apa saja, dan intinya, spontan saja. Tanpa rencana, tanpa susunan plot maupun alur, tanpa karakterisasi yang jelas, tanpa teknik bercerita yang blablabla. Saya ingin membiarkan tokoh-tokoh itu hidup menentukan nasibnya sendiri.
Dan berikut inilah cerita pertama saya...
__________________________
Dan berikut inilah cerita pertama saya...
__________________________
Setelah
terang yang deras itu, Susi mengalami trauma berat. Betapa senangnya ia berada
di bawah cahaya. Dirasakannya kilau-kemilau cahaya itu mengelilingi dirinya
bagaikan bodyguard yang siap menyapu
habis setiap gelap. Sejak saat itu lah ia mengalami ketergantungan pada terang.
Kini ia
takut gelap. Pengalaman dengan cahaya membuatnya takut. Ia barangkali tak
mengerti, betapa gelap secara fisika tak seharusnya ada. Sebab terang bisa
dibuat. Cahaya, seperti juga panas, bisa dicipta.
Tapi
itu tak membuatnya putus asa. Perasaan takut tak menimbulkan pasrah begitu
saja. Susi tetap menempuh setiap gelap yang ada. Ia tetap menghadapinya, meski
dengan tangan dan kaki gemetar.
Ditempuhnya
gelap dengan lari, dengan jerit, dan korek api. Segenap cara ia pikirkan, meski
kemampuan otaknya jauh lebih sedikit dari pada ketakutannya.
Pada suatu
ketika, saat Susi keluar dari kamarnya untuk membuat roti berisi susu dan keju,
ia menemukan ruang tamu tanpa cahaya. Di saat bersamaan, Ayahnya yang baru saja
selesai sembahyang Maghrib mengatakan kepadanya, lampu itu putus dan berhati-hatilah
sebab di sana bersemayam Hantu Kepala Gundul.
Susi panik
seribu macam gestur. Kabar Hantu Kepala Gundul itu membuatnya bertambah takut. Namun
Ayahnya tetap bercerita soal Hantu itu. Susi membentak Ayahnya meminta diam
agar ketakutan di kepalanya tak bertambah parah. Tetapi Ayahnya menolak
bungkam. Dan Susi dengan segala upayanya lagi-lagi mencoba menghentikan
kata-kata Ayahnya yang kini seolah membentuk teralis besi yang mengelilingi
hasrat di kepalanya.
Ayahnya
tetap tak kunjung berhenti. Ia malah coba membuat Susi percaya dengan
menyuruhnya memastikan kabar itu dari mulut Ibunya. Disuruhnya Susi bertanya
kepada Ibu yang kini sedang tidur.
Susi benar-benar
takut. Namun ketakutan tak menghentikan niatnya untuk membuat roti berisi susu
dan keju. Maka berlarilah ia menuju dapur. Di dapur, Susi membuat roti berisi
susu dan keju itu cepat-cepat, sehingga susu yang ia gunakan mengalir berceceran.
Meski begitu, Susi enggan membersihkan. Kelak beberapa menit kemudian,
semut-semut akan mengerubungi susu itu sebanyak ketakutannya menggerayangi
pikiran.
***
Selanjutnya,
Subuh Ibu terbangun lebih lambat dari Ayah. Tetapi Susi lah yang terakhir. Ia mendengar
Ayahnya menyuruh Ibu membeli lampu untuk dipasangkan di ruang tamu.
Tanpa pikir
panjang, Susi lantas menanyakan kebenaran Hantu Kepala Gundul itu pada Ibu.
“Bu, memangnya
benar, ada Hantu Kepala Gundul di ruang tamu?”
Ibunya tersenyum
dan berkata, “benar, tetapi karena Ibu orang baik, Ibu tak pernah melihatnya.”
Susi ragu. Ia ingat
bahwa Ibunya tak pernah percaya pada Hantu. Bahkan juga tak percaya pada Tuhan
dan segala hal-hal magis. Maka dianggapnya senyuman ibu tadi sebagai sesuatu
yang wajar.
“Pikiran Ibu selalu baik. Hantu tak suka pada
orang-orang baik. Maka dia takut sama Ibu,” lanjut Ibunya berusaha memecahkan
keraguan Susi. “Ia tak pernah nyata. Di pikiran Ibu, Hantu tak pernah ada.
Bagaimana bisa ia nyata?”
Susi masih ragu. Ia
malah kesal mendengar perkataan Ibunya.
Hari masih gelap.
Setelah percakapan itu, agak terasa lama, seluruh lampu mati. Ruangan gelap
semesta. Namun di pekat kegelapan itu, Susi tersenyum. Entah cara pola pikir
apa yang membuatnya tiba-tiba tersenyum dalam gelap.
Tetapi Susi tak
sedang bermimpi ketika di matanya ia melihat terang yang begitu menyilaukan
menyembul dari kepala Ibunya. Matahari yang belum terbit pagi itu, seolah-olah
berpindah tempat ke kepala ibunya. Terang di matanya itu mutlak. Seperti terang
yang tak terhapuskan.
Senyumnya memekar
dan terus memekar. Lugu dan terus memekar. Ia terpukau seperti seorang Balita di
padang pasir yang menemukan hujan.
Cukup lama ia
terpukau dan gelap masih pekat. Di gelap yang pekat itu, Susi lalu melihat
tubuhnya. Dan ditemukannya tubuh tanpa sehelai benang. Susi telanjang.