Dan berikut inilah cerita pertama saya...
__________________________
Setelah
terang yang deras itu, Susi mengalami trauma berat. Betapa senangnya ia berada
di bawah cahaya. Dirasakannya kilau-kemilau cahaya itu mengelilingi dirinya
bagaikan bodyguard yang siap menyapu
habis setiap gelap. Sejak saat itu lah ia mengalami ketergantungan pada terang.
Kini ia
takut gelap. Pengalaman dengan cahaya membuatnya takut. Ia barangkali tak
mengerti, betapa gelap secara fisika tak seharusnya ada. Sebab terang bisa
dibuat. Cahaya, seperti juga panas, bisa dicipta.
Tapi
itu tak membuatnya putus asa. Perasaan takut tak menimbulkan pasrah begitu
saja. Susi tetap menempuh setiap gelap yang ada. Ia tetap menghadapinya, meski
dengan tangan dan kaki gemetar.
Ditempuhnya
gelap dengan lari, dengan jerit, dan korek api. Segenap cara ia pikirkan, meski
kemampuan otaknya jauh lebih sedikit dari pada ketakutannya.
Pada suatu
ketika, saat Susi keluar dari kamarnya untuk membuat roti berisi susu dan keju,
ia menemukan ruang tamu tanpa cahaya. Di saat bersamaan, Ayahnya yang baru saja
selesai sembahyang Maghrib mengatakan kepadanya, lampu itu putus dan berhati-hatilah
sebab di sana bersemayam Hantu Kepala Gundul.
Susi panik
seribu macam gestur. Kabar Hantu Kepala Gundul itu membuatnya bertambah takut. Namun
Ayahnya tetap bercerita soal Hantu itu. Susi membentak Ayahnya meminta diam
agar ketakutan di kepalanya tak bertambah parah. Tetapi Ayahnya menolak
bungkam. Dan Susi dengan segala upayanya lagi-lagi mencoba menghentikan
kata-kata Ayahnya yang kini seolah membentuk teralis besi yang mengelilingi
hasrat di kepalanya.
Ayahnya
tetap tak kunjung berhenti. Ia malah coba membuat Susi percaya dengan
menyuruhnya memastikan kabar itu dari mulut Ibunya. Disuruhnya Susi bertanya
kepada Ibu yang kini sedang tidur.
Susi benar-benar
takut. Namun ketakutan tak menghentikan niatnya untuk membuat roti berisi susu
dan keju. Maka berlarilah ia menuju dapur. Di dapur, Susi membuat roti berisi
susu dan keju itu cepat-cepat, sehingga susu yang ia gunakan mengalir berceceran.
Meski begitu, Susi enggan membersihkan. Kelak beberapa menit kemudian,
semut-semut akan mengerubungi susu itu sebanyak ketakutannya menggerayangi
pikiran.
***
Selanjutnya,
Subuh Ibu terbangun lebih lambat dari Ayah. Tetapi Susi lah yang terakhir. Ia mendengar
Ayahnya menyuruh Ibu membeli lampu untuk dipasangkan di ruang tamu.
Tanpa pikir
panjang, Susi lantas menanyakan kebenaran Hantu Kepala Gundul itu pada Ibu.
“Bu, memangnya
benar, ada Hantu Kepala Gundul di ruang tamu?”
Ibunya tersenyum
dan berkata, “benar, tetapi karena Ibu orang baik, Ibu tak pernah melihatnya.”
Susi ragu. Ia ingat
bahwa Ibunya tak pernah percaya pada Hantu. Bahkan juga tak percaya pada Tuhan
dan segala hal-hal magis. Maka dianggapnya senyuman ibu tadi sebagai sesuatu
yang wajar.
“Pikiran Ibu selalu baik. Hantu tak suka pada
orang-orang baik. Maka dia takut sama Ibu,” lanjut Ibunya berusaha memecahkan
keraguan Susi. “Ia tak pernah nyata. Di pikiran Ibu, Hantu tak pernah ada.
Bagaimana bisa ia nyata?”
Susi masih ragu. Ia
malah kesal mendengar perkataan Ibunya.
Hari masih gelap.
Setelah percakapan itu, agak terasa lama, seluruh lampu mati. Ruangan gelap
semesta. Namun di pekat kegelapan itu, Susi tersenyum. Entah cara pola pikir
apa yang membuatnya tiba-tiba tersenyum dalam gelap.
Tetapi Susi tak
sedang bermimpi ketika di matanya ia melihat terang yang begitu menyilaukan
menyembul dari kepala Ibunya. Matahari yang belum terbit pagi itu, seolah-olah
berpindah tempat ke kepala ibunya. Terang di matanya itu mutlak. Seperti terang
yang tak terhapuskan.
Senyumnya memekar
dan terus memekar. Lugu dan terus memekar. Ia terpukau seperti seorang Balita di
padang pasir yang menemukan hujan.
Cukup lama ia
terpukau dan gelap masih pekat. Di gelap yang pekat itu, Susi lalu melihat
tubuhnya. Dan ditemukannya tubuh tanpa sehelai benang. Susi telanjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar