Laman

Senin, 14 Oktober 2013

Sayonara~

Aku tahu kok
Sekaranglah saatnya
Aku katakan

Membaca Eleven yang Sayang untuk Dibuang

Sebuah lanjutan yang tak berkesinambungan.


Akhir pekan lalu, saya bertemu dengan dua mahasiswa yang menjalankan blog ini untuk pertama kali. Berkumpulnya kami, sebagai mahasiswa yang bergerak di media on-line, membahas seputar media kampus. Kebetulan saya diberi tahu oleh anak-anak Pos Bawah, bahwa terbitan Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (Himajur) Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Eleven terbit kembali. Langsung saja kami membelinya.

Sebenarnya saya sudah membaca Eleven sekelibat, dan tak lantas membuat saya tertarik. Namun, rasa haus akan terbitan kampus membuat kami terpaksa membeli untuk melihat isinya lebih dalam. Kata “kami” di atas merepresentasikan kerjasama apik antar mahasiswa. Heri Susanto menyumbang Rp 2000, May Rahmadi Rp 3000, dan saya yang jalan membeli Eleven yang harganya Rp 5000. Benar-benar kerjasama apik, layaknya tim nasional Indonesia U-19 kala menggilas Korea Selatan U-19.

Akhirnya terbitan –buletin, majalah, zine, bulanan, atau apalah namanya- dengan jargon “Gunakan Pena, Menulis dan Bertindak” ini sampai ke tangan kami.

Membuka halaman pertama, membuat saya kaget. Ternyata, Eleven ini sudah bisa dibilang besar karena di halaman pertama ada iklan sebuah merek prosesor komputer. Di halaman pertama juga nampak susunan redaksi dan dua gambar yang tak jelas maksudnya –mungkin karena tak ada caption-nya.

Halaman dua saya baca dengan singkat, karena hanya ada daftar isi dan salam redaksi yang berisi basa-basi. Dalam editorialnya, kalimat terpenting yang saya dapati adalah, “dalam rangka hari tata ruang dan hari hak-hak asasi hewan, eleven ingin membahas seputar permasalahan tataruang jakarta”. Saya menuliskannya apa adanya, dan memang sengaja tanda titik saya taruh di luar tanda kutip.

Kertas itu tertiup angin dan membuka halaman selanjutnya, yang berisi rubrik “Fokus”. Niat untuk membaca mendadak hilang, terbang bersama angin yang membuka halaman ini. Saya paksakan untuk membaca, namun hati ini tetap menolak. Ya sudahlah.

Di halaman lima, ada tulisan berjudul ‘Ulang Tahun KATS’. Tentu saya senang, karena saya adalah bagian dari KATS (Kampus Tercinta Scooter). Dan kebetulan, yang menulis liputan tersebut adalah teman saya di Pos Bawah, sesama anak KATS. Tulisannya asyik, mengalir seperti air. Tentu, paragraf ini tak berdiri sendiri. Ada latar belakang yang tak bisa dipisahkan dalam diri saya. Sehingga...

Saya lanjut membaca –tepatnya melihat- halaman berikutnya. Ada rubrik ‘Pojok Himajur’ dengan tulisan berjudul ‘Ibukota harusnya sebagai simbol kemakmuran, bukansimbolpermasalahan.” Saya pikir, pasti ada filosofi tinggi di balik kata-kata tersambung dan judul yang berakhir dengan tanda titik. Sampai sekarang saya masih memikirkannya.

Berikutnya, ada rubrik ‘Sosok’ yang mengangkat seorang mahasiswi manis dari jurusan Desain Interior, Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia Telkom. Tak ada yang spesial dari mahasiswi tersebut kecuali rupanya yang ayu, pun hanya dalam cetakan hitam-putih. Dan tentu saja, keinginannya untuk membuat desain rumah yang sesuai dengan tata ruang di Jakarta, bisa dibilang spesial. Entah faktor apa lagi yang membuat Riris, sapaan mahasiswi tersebut, bisa masuk dalam rubrik ‘Sosok’. Keberuntungan, mungin.

Di halaman sembilan, ada tulisan dengan judul ‘Mengangkat DNA Nusantara pada Arsitektur Masa Kini’ yang mengisi rubrik ‘Lintas Sahabat’. Entah apa yang dimaksud dengan DNA dalam judul tulisan itu. Apakah ada yang bisa menjelaskan?

Sampailah kita di bagian tengah terbitan ini, tepatnya halaman 11 dan 12. Isinya membahas seputar komunitas dan tempat wisata yang layak dikunjungi. Dalam rubrik ‘Komunitas’ tak ada masalah, karena yang menulis adalah teman saya, yang saya jelaskan di atas –tentu jika dilihat dari bingkai yang saya miliki. Di halaman 12, rubrik ‘Plesir’, saya diajak untuk mengunjungi Dubai. Semoga saja di masa depan saya benar-benar bisa ke sana, mengingat untuk mendapatkan terbitan ini pun harus patungan, dan saya menyumbang tenaga.

Setelah membuka halaman 13, saya sadar, ternyata gambar yang terpasang di halaman pertama bukanlah iklan. Di rubrik ‘Iptek’, saya menemukan ulasan tentang merek prosesor yang terpampang di halaman awal.

Melihat sepintas, rubrik di halaman berikutnya sangatlah menarik, ‘Sekilas Sebelas’. Isinya tentang 11 tokoh arsitektur dunia. Sayang, perasaan menarik hanya lewat sepintas. Tiga halaman terbuang sia-sia dengan informasi yang dengan mudah dapat saya temukan secara on-line.

Halaman 17 dan 18 berisi testimoni enam mahasiswa terkait Hari Kesaktian Pancasila. Isinya seragam, menyayangkan fenomena yang terjadi, di mana hari besar tersebut tak bermakna lagi. Ah, seandainya mereka mencoba sedikit keluar dari jendela. Jika saya boleh mengisi testimoni, maka isinya adalah, “Hari Kesaktian Pancasila adalah tanda dimulainya penghakiman absolut kepada orang-orang yang dianggap komunis.”

Rubrik ‘Skor’ di halaman 19 bisa saya anggap sebagai penghibur, pun isinya sudah kadaluwarsa untuk edisi Oktober. Judul tulisannya ‘Indonesia Juara Umum ISG’, jumlah paragrafnya ada lima, dan setiap paragraf berisi satu sampai dua kalimat. Saya rasa, itu adalah berita lempang. Saya mencoba mengetik di Google tentang Indonesia yang juara Islamic Solidarity Games. Hasilnya, saya menemukan 302.000 halaman terkait dalam 0,30 detik. Lantas, apa saya harus menunggu sebulan untuk membaca berita lempang?


Halaman 20 saya lewatkan. Saya tak begitu tertarik untuk membaca tulisan tentang Indonesia International Motor Show di rubrik ‘Event’. Saya beralih ke halaman 21, dengan rubrik ‘Ada Yang Baru’. Ah, ternyata isinya adalah sinopsis film yang akan keluar. Andai saja resensi, pasti saya baca.

Di bagian belakang, tepat di balik sampul penutup, ada sebuah ilustrasi yang tak mimiliki kredit. Pasti yang membuat ilustrasi tersebut berpaham ‘Copyright is Only for Beginner’. Begitulah. Dan, ada sepotong pengumuman untuk memasang iklan.

Sampul penutup Eleven memasang rubrik ‘Jendela Rana’. Mungkin, ditempatkan di bagian paling belakang agar tercetak warna. Cukup menghibur. Sayang, tak ada keterangan tentang foto-foto tersebut. Hanya ada tiga buah foto dan, lagi-lagi, sepotong pengumuman yang berisi, “Redaksi menerima kiriman artikel atau tulisan yang tidak mengandung sara dan kekerasan. Redaksi berhak menyunting naskah tulisan tanpa mengubah maksud. Naskah tulisan diketik 1,5 spasi dan disertai identitas penulis (foto, nama lengkap, NRP, jurusan & fakultas, angkatan, asal kampus, contact person, email, serta pengalaman organisasi) pengiriman ke sekretariat Himajur.”

Begitulah tanda sayang saya kepada terbitan kampus. Andai di blog ini bisa memasang iklan, pasti akan saya iklankan jasa ‘tata letak dan edit tulisan’. Namun blog ini sepertinya anti-iklan. Tak apalah, asal jangan anti-kritik.

Merah Mani

Saya tak tahu harus menulis apa. Billing warnet saya tinggal sejam. Dari pada saya membuang waktu dengan memikirkan harus memposting apa, lebih baik saya posting asal-asalan saja. Sebab saya juga ingin main dota.

Tulisan ini tentang Tempo Institute yang typo menulis nama saya di websitenya. Nama saya May Rahmadi. Tapi Tempo Institute salah menulisnya sehingga menjadi "May Rahmani".


Nama saya jadi ngeri sekali. "May Rahmani", bisa saja dibaca menjadi "Merah Mani". Mani adalah sperma. Jadi, Merah Mani adalah sperma yang berwarna merah. Bayangkan...

Minggu, 13 Oktober 2013

Membandingkan Eleven dengan Abominasi Zine

Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta tengah merindukan terbitan-terbitan mahasiswa, dari yang sifatnya informasi, persuasi, atau bahkan propaganda. Hal tersebut saya simpulkan dari setidaknya beberapa tongkrongan yang saya ikuti.

IISIP (dulunya Sekolah Tinggi Publistik) – yang terkenal dengan sebutan “Kampus Jurnalistik” – memang minim sekali terbitan mahasiswa. Kampus yang selalu memiliki jumlah pendaftaran terbanyak pada jurusan jurnalistik ini juga tidak memiliki Lembaga Pers Mahasiswa yang menjalankan fungsi anjing penjaga (watch dog function).

Pertanyaan mengenai mengapa tidak ada LPM yang menjalankan fungsi anjing penjaga, rasanya lebih tepat dibebankan pada pundak Himpunan Mahasiswa Jurnalistik.

Himajur sebenarnya punya sebuah terbitan bernama Eleven (terbitan tertua di IISIP, klaim redaksinya). Saya mendapatkannya beberapa hari lalu. Namun belum lama juga saya menemukan sebuah zine bernama Abominasi. Oleh karena itu, dari pada menjawab pertanyaan tadi, di sini saya ingin menulis review dengan membandingkan keduanya, membandingkan antara yang legal dengan yang ilegal. Ada beberapa segi yang ingin saya bandingkan: struktur redaksi, teknik penulisan, layout, dan harga.

Yang Legal dan Yang Ilegal

Abominasi adalah zine yang dicetak secara mandiri, independen, dan ilegal, oleh seorang mahasiswa jurnalistik angkatan 2012, Bima. Mandiri, maksud saya, adalah konten dan proses produksinya digarap sendiri. Independen artinya Bima berada di wilayah yang bebas nilai (tidak membawa kepentingan dari pihak tertentu). Ilegal berarti tidak memiliki izin resmi dari pihak kampus.

Sekitar sebulan lalu, saya menemukan Abominasi. Bima menerbitkan zine ini benar-benar apa adanya – kalau tidak boleh dibilang sebisanya. Bima menyebarkannya dengan semangat berbagi informasi dari apa yang ia sukai: metal. Saya sempat mereviewnya. Apa yang telah Bima lakukan menyiratkan pesan bahwa menerbitkan karya adalah hal yang mudah.

Lalu kemarin saya menemukan Eleven (edisi Oktober 2013), terbitan legal dari Himajur. Seperti yang sudah saya tulis tadi, legal dalam pemahaman banyak siswa berarti memiliki izin dari kampus, paling tidak organisasinya. Entah siapa yang membentuk pemahaman seperti itu.

Eleven hadir dengan semangat “mendidik para anggota Himajur untuk menjadi wartawan andal,” begitu tulis redaksinya. Media ini, lanjutnya, “diperuntukan bagi para calon jurnalis muda untuk berlatih menulis berita dengan baik.”

Pembuatan media, secara teknis jelas terkait dengan, setidaknya, dua mata kuliah di jurusan jurnalistik: Bahasa Indonesia Jurnalistik dan Editing dan Produksi Media Cetak. BIJ penting dalam hal konten, dan EPMC perlu paling tidak dalam segi “tampilan”.

Sebagai media yang ingin melahirkan “wartawan andal” (apapun maknanya istilah ini) – seperti yang diklaim redaksinya – Eleven tak mempraktikkan dengan baik ke dua mata kuliah yang saya sebut tadi.

Jajaran Redaksi Tak Berarti Bikin “Rapih”

Berbeda dengan Eleven, Abominasi tak memiliki struktur yang jelas dan rinci. Eleven Nampak lebih professional dengan jajaran dredaksi dari Pemimpin Umum sampai Layouter. Sedangkan dalam Abominasi, seluruh proses penggarapannya – dari penentuan konten, penulisan, sampai urusan layout – dikerjakan oleh Bima seorang. Tetapi jajaran redaksi rinci yang dimiliki Eleven tak serta merta membuat Eleven lebih rapih dibanding Abominasi.

Salah satu contohnya, dari segi penulisan. Eleven secara terang benderang tidak menerapkan dengan baik apa yang telah dipelajari di kelas BIJ. Entah sengaja atau tidak, saya melihat banyak kalimat yang tak logis, kata mubazir, dan penulisan judul yang salah. Hal serupa tentu saja dapat juga ditemukan di Abominasi yang tidak memiliki editor khusus.

Selain itu, layout Eleven nampak lebih parah dari pada Abominasi. Tata letak Eleven sangat tidak teratur. Itu dapat tergambar dari banyaknya spot kosong yang terbuang sia-sia sehingga memakan banyak halaman, serta penggunaan ukuran huruf dan line spacing yang tidak konsisten. Itu sangat tidak enak dilihat. Di persoalan ini, saya malah melihat layout Abominasi yang dibikin Bima secara manual (dengan mengeprint-tempel-fotocopy) malah sedikit lebih baik.

Soal harga adalah yang paling menarik. Harga Eleven dipatok Himajur 5000 rupiah. Hal tersebut, mengutip teman saya, “harga yang tak masuk akal, mengingat daya beli anak-anak IISIP itu susah.”  Sedangkan Abominasi, disebarkan secara gratis seperti udara. [1]

Sebenarnya ada hal lain yang layak dibandingkan: cover dan gambar (citra media), rubrikasi (apa yang ingin dikatakan), dan isi (bicara soal apa). Soal itu, barangkali teman saya yang lain saja yang mengulasnya.

Sangat disayangkan jika Himpunan Mahasiswa Jurnalistik tak mampu mempraktikkan kegiatan jurnalistik dengan baik dan benar. Saya malah melihat Abominasi sedikit lebih keren. Jika tidak percaya, silahkan bandingkan sendiri.

***
[1] Bima sempat mengatakan perihal proses produksinya pada saya. Kalau tidak keliru, ia mengeluarkan uang 125 ribu untuk menghasilkan 35 eksemplar Abominasi Zine.



Semalam Bersama

Di malam itu
Saat ku bersamamu
Berdua saja

Sepucuk Surat untuk Evan Dimas

Wahai kau Evan Dimas, aku menonton pertandinganmu saat melawan Korea Selatan yang takluk dalam guyuran hujan. Malam ini, aku sempatkan untuk menulis surat ini. Semoga kau membaca.

Tak kusangka, di balik wajahmu yang lemas, engkau memiliki napas yang tak kunjung henti. Larimu seperti harimau, goyanganmu seperti lebah, sujud syukurmu seperti manusia. Engkau adalah persatuan yang sempurna.

Tak ingin aku melewati untuk memujimu malam ini. Sungguh.

Sebenarnya, aku bukanlah orang yang bisa menulis surat untuk manusia yang kupuja. Aku tidak bisa menulis kata mesra. Ah bajingan kepada wasit yang memberikan penalti dan tendangan bebas untuk Korea Selatan. Harusnya kita bisa menang tiga kosong. Tapi itulah pertandingan. Janganlah kau menaruh dendam pada wasit itu, meskipun dia seorang Malaysia. Sayanglah, Dimas.

Hey Dimas, aku sungguh merasa malu. Tadinya aku ingin memasang taruhan untuk Korea Selatan. Namun, hati nurani ini melarangku untuk jangan. Beruntunglah aku. Engkau mencetak hat-trick ke gawang Korea Selatan dengan tembakan dari mukamu yang lemas, hingga Korea tak jadi menang.

Dimas, namamu seperti nama temanku. Dulu temanku pernah dipukuli oleh bapaknya karena disangka minum minuman keras di depan sekolah. Ternyata bapaknya salah. Yang mabuk di depan sekolah adalah temannya Dimas, bukan Dimas. Tapi tetap saja, muka temanku sudah babak belur dipukuli. Ah, kasihan sekali. Semoga nasibmu tidak seperti temanku.

Evan Dimas, aku melihat komentarmu di berita. “Semua bisa dikalahkan, kecuali Tuhan.” Begitu kira-kira bunyinya. Semoga saja, engkau dapat mengalahkan PSSI, dan bahkan Menpora yang sungguh tak indah mukanya untuk di tampilkan dalam tulisan ini. Oh Dimas, doaku selalu untukmu. Tidak janji, namun akan kuusahakan.

Satu lagi, Dimas. Janganlah engkau tergiur untuk menjadi bintang iklan sebuah merek makanan, yang sebenarnya rasanya enak, namun tak memilik tim kreatif iklan yang baik. Nanti pasti kau akan disuruh nyanyi. Namun semua keputusan ada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal.

Mungkin hanya sampai di sini aku dapat menyapamu. Jangan dengarkan komentator-komentator di layar kaca pertandinganmu disiarkan. Karena komentator adalah kosong, dan kau adalah isi. Isi dan kosong, semoga saja memiliki banyak perbedaan.

Dimas, di paragraf terakhir ini akan kutuliskan namamu dengan sebuah rasa, kebanggaan. Evan Dimas, engkau, ..ah, sudahlah!

Sabtu, 12 Oktober 2013

Hati-hati, Blog Ini Jualan Pelet dan Susuk


Tak disangka tak diduga, apalagi mendapatkan uang dari sang pemasang iklan, ternyata blog ini, blog tempat kami mencari kebenaran, ternyata menjual barang yang selama ini kami cari.

Sedang malas berunding. Sudahlah.

Perjalanan Mabuk

berjalanlah menyusuri angin
menembus gedung pencakar langit
menerjang ombak-ombak lautan
mengitari samudra
dan bermuara pada senja
di seberang dunia
singgah meneguk anggur
lalu berjalan lagi
mabuk
menuju matahari

Jumat, 11 Oktober 2013

Polisi Mengingatkan Saya dengan Babi

Tadi siang polisi menilang di rel kereta tempat di depan kampus saya. Saat itu saya hendak membeli bubur di seberang kampus saya.

Saya dan anda tentu saja tak punya kepentingan apa-apa dengan polisi. Maka slogannya yang melindungi dan mengayomi masyarakat hanyalah omong kosong belaka. Polisi hanya melindungi negara. Mereka hanya mengayomi para pemilik modal. Keberadaannya tak akan pernah berpihak pada masyarakat.

Di tengah penilangan itu, saya sempat berdebat alot. Polisi memang selalu menjengkelkan. Tai kucing lah liputan di media massa mengenai polisi-polisi cantik atau pun yang baik hati.

Perdebatan itu mengingatkan saya dengan Babi. Babi yang saya maksud adalah sebuah cerpen dari Romi Zarman di Koran Tempo 17 Oktober tiga tahun lalu.

Agar jelas mengapa pengalaman saya dengan polisi itu bisa terhubunga dengan ingatan saya mengenai Babi, maka simaklah sendiri cerpen ini: klik.

Aku Ya Aku


Aku lelah
Akan semua kepalsuan
Dan kepura-puraan
Yang harus selalu kuhadapi setiap hari

Haruskah aku juga berpura-pura?
Seperti yang mereka lakukan
Agar mereka mau menerima aku?

Tapi
Siapa mereka?
Membuat aku harus meninggalkan
Jati diriku yang sebenarnya

Aku tidak butuh mereka
Aku ya aku
Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri
Seutuhnya

Kami Menonton Bola Bersama


Malam itu, orang-orang sedang menonton pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Filipina. Sorak-sorak geregetan terdengar saat ada peluang yang gagal menghasilkan. Suasana meriah di setiap rumah. Jalan raya yang biasa membuat kita tolol, mendadak sepi. Para pengendara edan sedang menikmati imajinasi dalam layar 21 inci.

Saya nonton di rumah teman saya, Kribo, sepulang kondangan dalam sebuah pernikahan yang jauh melewati batas timur Jakarta. Baru sampai, saya langsung dibelikan pangsit oleh ibu teman saya ini. Ibunya memang baik. Bapaknya juga, suka berbicara tentang apa saja. Oh indahnya, menikmati babak pertama dengan pangsit yang datang secara tiba-tiba.

Kebetulan motor saya terlalu jauh dari radar kekuasaan rumahnya. Sedang asyik makan, mau tak mau saya memindahkan motor saya. “Pindahin dulu motornya, nanti ilang kalo ditaro di sana,” perintah bapaknya Kribo.

Saat itulah, saya melihat pedagang pangsit yang sedang menunggu mangkoknya pulang, mengisi waktunya dengan memonton bola dalam layar telepon genggamnya, sendirian. “Sadis,” pikir saya sambil merasa iba.

Saya ceritakan kejadian itu kepada Kribo yang sedang serius menonton bola, makan, dan sesekali melirik laptop saya yang sedang dibereskan. Tak lama berselang, penjual pangsit itu menanyakan mangkuknya yang tak kunjung pulang.

“Wah belom selesai makannya, bang. Udeh lu sini aja dulu, nonton bola bareng-bareng. Gue tau lu suka bola,” ucap Kribo.

“Gapapa nih?” tanya penjual pangsit.

“Yailah, udah sini aja. Gua lama makan gara-gara sambil nonton bola.”

Si pedagang itu duduk, tak perlu gaya yang gaduh, dan kami menonton bola bersama.

“Nonton bola juga? Udah tutup dulu gerobak lu, nonton bola dulu,” canda bapaknya Kribo.

Tampaknya, masih ada sebuah harapan dalam diri seseorang untuk sebuah Indonesia. Atau mungkin, itu hanyalah hiburan untuk membunuh kesepian. Siapa yang tahu. Hasil akhirnya, Indonesia menang.

Kamis, 10 Oktober 2013

Haiku

Olrait. Hari ini gue mau cerita soal Haiku.



Makhluk apa itu Haiku? Biasanya kalo bukan pujangga (ceileh) jarang ada yang ngerti apa itu Haiku.

Sebotol Bunga di Makam Wulan

Ilustrasi oleh Ade Pasker

Aku memutuskan untuk berkunjung ke kampung halaman, tepatnya di desa Asih, perbatasan antara tengah dan selatan pulau ini. Sudah lama aku tak pulang. Ternyata, sudah banyak perubahan di sekitarnya. Jalanan sudah beraspal, rumah sudah memakai bata, dan pasar menjadi tempat pemuda berwisata. Namun ada satu yang masih tersisa, orang-orang yang tersenyum setiap berpapasan, pun nanti di belakang entah bersikap apa.

Itu adalah kampung halamanku. Betapapun rasa tak ingin tinggal di tempat semacam itu, namun aku tetap akan gerendengan jika ada yang menghinanya.

Ketika baru tiba ke rumah Bapak, aku diceritakan macam-macam tentang kehidupan di sini. Adikku tak mau kalah, langsung menyambar menceritakkan seputaran gosip desa, tentang alam yang menolak cinta. Ah, terpaksa aku mendengarnya.
***

Baru setahun yang lalu Wulan tiada. Entah pergi atau kembali, yang jelas Wulan sudah tak lagi di Bumi. Saprol, kekasihnya yang paling setia dan paling dicintainya, belum bisa melupakan ketiadaan Wulan dalam hidupnya. Ia menjadi murung, seperti kebanyakan orang yang ditinggal mati permaisuri. Memang suatu hal yang biasa.

Sewaktu hidup, Wulan adalah seorang kembang desa anak pengusaha. Setiap lewat, mata para lelaki selalu menatap padanya. Aromanya wangi. Kumbang pun tak sanggup untuk menghindarinya. Tak jarang ia bergonta-ganti pujaan hati. Dari tua sampai muda, pernah ia cicipi. Tapi, tak pernah sekalipun ia menjual diri pada lelaki, sekalipun dibayar sengan cinta. Pendiriannya yang kuat, terlihat dari mata bulatnya yang dipayungi bulu mata lentik. Sungguh menawan untuk dilihat.

Entah apa yang membuat Wulan menjatuhkan pilihan yang pasti kepada Saprol. Padahal, Saprol hanyalah seorang pemuda biasa. Tampan tidak, kaya pun tidak. Banyak pemuda yang lebih kaya dan tampan di desanya. Seorang Saprol jelas tak ada apa-apanya. Namun Wulan tetap mencintainya.

Pemuda yang lain jelas merasa risih melihat Wulan sangat dekat dengan Saprol. Tak jarang, Saprol dianggap menggunakan pelet untuk menarik perhatian Wulan. Hasut-menghasut memang sudah jadi kebiasan warga desa, namun tak ada yang pernah berani menyerang di muka. Hasutan hanya lewat belakang. Diam-diam.

Wulan tahu, banyak orang yag tak suka hubungannya dengan Saprol, bahkan keluarganya pun melarang. Tapi ia tak peduli. Namanya cinta, tak ada yang bisa merubah. Wulan tetap dekat dengan Saprol. Tak diam-diam seperti hasutan, mereka selalu bergandengan di setiap kesempatan. Mesra.

Namun seperti warga desa, alam pun seakan tak pernah merestui hubungan mereka. Enam bulan mereka bersama, dalam bisik-bisik warga yang tak ada hentinya, perlahan-lahan fisik Wulan semakin menua. Wajah cantiknya menjadi keriput. Aromanya tak lagi mengundang kumbang yang mulai bosan. Aneh. Yang tersisa hanya mata yang bulat dan lentik bulunya, yang masih memegang pendiriannya.

Saprol yang biasa tak mengerti apa-apa. Ia hanya mengerti bagaimana cara mencintai. Ia tetap mendampingi Wulan di rumahnya, di hadapan orang tua yang dulu merendahkannya. Saprol tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak punya ilmu medis yang dapat menyembuhkan luka. Yang dimilikinnya hanya cinta dan doa.

Tiba sampai malam yang pengap, Wulan meminta Saprol untuk melepaskannya. Saprol tak bergeming. Ia tetap berusaha dengan keahliannya, cinta dan doa. Hingga napas yang berat memisahkan Wulan dengan tubuhnya. Saprol menangis, namun tak keluar air mata.

Dalam prosesi pemakaman yang dhadiahi hujan lebat, jenazah Wulan menyatu dengan tanah, yang katanya adalah hakikat dari manusia. Saprol terdiam melihat kekasihnya diuruk tanah. Tak ada yang bisa dilakukannya, selain memberi cinta dan doa.

Sampai hari ini, setelah setahun kematian Wulan, Saprol tetap menjaga cinta dan doanya.
***

Aku bosan mendengar cerita adikku, yang umurnya belum genap seperlima abad. Paling-paling banyak bumbu yang bertabur untuk membuat ceritanya semakin ngawur. Aku putuskan untuk keliling desa, mencari udara.

Jauh dekat sungai yang mengalir, aku melihat seorang pria, berpenampilan serba biasa, sedang menaburkan sebotol air dan bunga di makam yang terawat indah. Aku melihat cinta dan doa dalam kesendiriannya. Namun, pria itu tetap saja terlihat biasa.

Rabu, 09 Oktober 2013

Catatan Semester Dua di Kelas Penulisan Berita

Saya teringat dua semester lalu, saat saya masih mengambil mata kuliah Penulisan Berita. Bang Norman adalah dosen mata kuliah itu. Ia kini memimpin Redaksi Sinar Harapan.

Ia sering sekali bercerita tentang bagaimana sulitnya menjadi wartawan. Selama 14 kali pertemuan, ia hampir selalu menceritakannya. Gaya ceritanya yang antusias membuat semua mahasiswa dengan seksama menyimak.

Yang paling saya ingat saat ia bercerita bagaimana menjadi wartawan berarti juga menjadi musuh beberapa pihak. Wartawan kerap menimpa kekerasan. Tentu saja hal itu dilakukan oleh "penguasa" yang tidak menyukai keberadaannya.

Bang Norman sering berpesan agar selalu bekerja dengan hati. Hal tersebut tak hanya ia lakukan pada profesinya sebagai wartawan. Sebagai dosen, ia terlihat bekerja bukan karena uang, tapi karena kesenangan. Wajar saja jika di kelas ia begitu antusias saat membagi pengalamannya. Ia juga sangat terbuka jika diajak diskusi.

Saya mencatat sebuah kalimat yang ia ucapkan di pertemuan terakhir semester itu. Sebelumnya, ia meminta kritik dan saran dari mahasiswa, serta memohon maaf atas kesalahan yang tak sengaja ia lakukan. "Jangan takut menjadi wartawan. Menjadi wartawan memang tak mudah," ungkapnya dengan intonasi pelan. Lalu ia menaikan volumenya saat mengatakan, "tapi semua kebaikan yang dilakukan wartawan, akan dicatat Tuhan, karena membuka hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi, yang sengaja diputar-balikkan."

Song's PoV

Pernahkah kalian mendengarkan sebuah kagu sesuai mood atau keadaan hati kalian saat mendengarkan lagu itu? Misalnya kalo lagi jatuh cinta kalian muter lagu-lagu yang bertema jatuh cinta. Kalo baru putus, kalian muter lagu yang liriknya, bukannya menambah semangat move on, malah makin mencabik-cabik perasaan kalian. Ato lagi sama temen-temen se geng ato sahabat tersayang, kalian dengerin lagu-lagu yang bertema friendship never end. Pernah gag?

Berlayar Menuju Suara Nyanyian Lautan

Bahtera Kehidupan oleh Amang Rahman

“Badai datang, Kapten!”

“Cepat naikkan layar! Jangan sampai kita tenggelam.”

“Aye aye, Kapten!”

Semua awak kapal sibuk di posisinya masing-masing. Ada yang memegang kemudi, menggulung layar, menyelamatkan kawan yang tersentak ombak, ada pula yang berlari ketadutan menuju dek kapal. Ombak yang datang tak seperti biasanya. Kali ini mungkin bila tak sigap, kapal tua bernama Rosswood ini akan karam. Semakin lama, ombak yang datang semakin kencang. Seluruh awak panik sambil mulutnya berkomat-kamit sesempatnya.

Kapten David tetap tenang. Ia sudah tahu dari awal, ketika memutuskan untuk berlayar, badai pasti akan menghalang. Sudah ratusan kali Kapten David berlayar entah di lautan apa, dan beratus kali pula ia menghadapi ombak yang mematikan. Namun ombak ini, terasa menyeramkan. Entah karena apa, Kapten David memasang raut muka yang tak biasa ketika menghadapi ombak.

Dahulu, sebelum Kapten memutuskan untuk berlayar, ia adalah anak seorang pembual di kampung halamannya. Semua warga kampung tahu kalau ayahnya adalah seorang pengobral besar. Hanya satu orang yang percaya, yaitu David.

Suatu hari, di tengah kebun yang melintang langsung ke arah bukit, ayahnya pernah berkata padanya bahwa dunia di luar sungguhlah indah dan kampung tempatnya tinggal adalah sampah. Betatupun ia tahu bahwa ayahnya adalah penduduk asli turun-temurun dan tak pernah meninggalkan kampung halamannya, ia percaya pada kata-kata ayahnya tanpa adanya sedikitpun keraguan.

David memulai perjalanannya saat ia sudah pernah mimpi basah. Pertanda seseorang dewasa di kampung itu adalah dengan hadirnya mimpi basah. Usianya mungkin masih 16 tahun, namun kemaunannya sudah bulat, mencari sebuah lukisan yang pernah diberikan oleh ayahnya sesaat sebelum menemui ajal.

Orang-orang kampung tahu kalau lukisan itu hanyalah angan-angan ayah David. Namun perkataan orang kampung tak pernah didengar, ia tetap melakukan perjalanan mencari sebuah bangunan.

“Carilah bengunan ini di luar sana. Ketika kamu menemuinya, maka keajaiban akan datang,” ingat Kapten David pada pesan ayahnya kala itu.

Hingga saat ini, ia telah melalukan pelayaran ratusan kali, mungkin sudah tiga kali mengitari garis katulistiwa. Namun lukisan titipan ayahnya belum juga ditemukan.

Sementara ombak masih senang menggoda kapan Rosswood yang awaknya mulai gemetar, tak hentinya berkomat-kamit mengucapkan entah mantra apa.

Kapten Jono masih tetap diam di haluan kapal. Dalam ketenangannya, wajah yang tadinya murung berubah menjadi senyuman. Ia menemukan bangunan seperti di lukisan ayahnya dalam kejauhan.

“Arahkan kapal lurus ke depan,” perintahnya kepada para awaknya.

Lautan sepertinya sedang tak senang untuk ditunggangi satuan kayu-kayu berisi manusia. Dari bawah ombak menghantam, memutar kemudi kapal kembali ke belakang. Langit pun sepertinya sedang senang bersekutu dengan laut. Badai tak lagi menyisakan ruang kering di atas kapal.

Terdengar lantunan suara-suara tak dikenal dari kejauhan, dari tempat bangunan dalam lukisan itu berdiri kokoh. Ombak semakin kencang, hujan semakin ramai menyerang kapal yang saat itu tunggal di sepanjang mata memandang.

Kapten David menjadi ketakutan. Dari kayu lapisan bawah, air laut terlihat menyembur ke atas. Semua awak yang tedinya hanya komat-kamot sesempatnya, sekarang menghabiskan waktunya di pojok-pojok haluan sampai buritan sembil terus menerus mulutnya bergoyang namun tak bersuara.

Yang terdengar hanyalah lantunan asing dari bangunan di kejauhan dan suara ombak yang berkerja sama dengan hujan menenggelamkan kapal dengan perlahan. Kapten David pun tenggelam bersama kapal Rosswood dan para awaknya. Tak pernah ada terdengar penyesalan dalam perjalan mereka, yang ada hanyalah suara komat-kamit tak terdengan yang  menyatu dengan lautan dan asingnya lantunan dari bangunan di seberang.

Selasa, 08 Oktober 2013

Yang Baju Merah Jangan Sampe Lolos~

Siapa yang gag kenal sama kalimat yang gue jadiin judul itu? Iya, itu gue ambil dari nyanyiannya Kasino pas doi sama Dono nyamar jadi pengamen disebuah restoran. Gue lupa di film mana. Mungkin anda para viewers tau? Bisa loh ditulis di box komentar judul film nya. Kalo mau ngasih link youtube film tersebut juga boleh. Apalagi kalo link download torrent. ;)

Tommy yang Malang


Tommy terdiam. Ia melihat awan hitam semakin menyelimuti fajarnya yang tak suka datang terlambat. Cahaya terang hampir tak menembus gugusan air yang pekat. Tangannya berlumur darah, sebilah gergaji di tangang kirinya menyaksikan sebuah kepuasan meluap-luap. Bau amis menyekap pagi yang pengap. Dalam keremangan, Tommy mencoba mengingat kembali mengapa ia di sini.

Kala itu, hujan sedang marah pada bumi. Sudah setahun lebih ia tak mampir menyapa tanah yang mulai terbelah. Panas semakin berkuasa saat tak ada hujan yang biasa melawan. Tommy yang masih dalam kendungan, perlahan keluar memalui kemaluan ibunya yang sesaat langsung meninggal.

Tommy kecil adalah manusia terbuang. Ibunya berjuang keras mengantarkan sebuah nyawa padanya sebelum akhirnya dijemput paksa malaikat. Bapaknya entah di mana. Mungkin maih ada, mungkin telah tiada. Konon, Ibunnya tak pernah mencintai bapaknya. Tommy lahir dari kecelakaan yang tak pernah diinginkan. Cerita-cerita tersebut membesarkan Tommy hingga kini. Ia tumbuh dengan aib orang tua yang telah tiada. Sendiri Tommy mencari kebahagiaan dalam perkumpulan anak-anak terlantar di panti asuhan.

Tak ada teman, semua mengucilkan. Bahkan dengan sesama manusia terbuang.

Tommy begitu malang. Tak seperti nama tommy lainnya yang menjadi pemegang tahta kala ayahnya berkuasa. Nasib nama memang tak selalu, tak akan, sama.

Pagi itu, ia tak sempat sembahyang. Waktunya habis untuk melamunkan asal-usul yang tak seharusnya ada. Tak seharusnya dilamunkan. Ada kebencian yang bertambah ketika ia kembali merenungkannya. Semakin tebal. Hingga kuasa tangannya melebihi akal sehatnya.

Sebelum memutuskan untuk tidak sembahyang, Tommy pergi ke gudang. Gergaji itu terus memanggil, meminta untuk berkeliling mencari ketenangan. Tommy yang kerasukan pikiran, menyembelih ratusan manusia tebuang yang belum sempat melihat fajar menjelang hari itu.

Tak ada jerit tangis kematian. Tak ada pemberitaan besar tentang pembantaian. Ini hanyalah kisah orang-orang malang, orang yang terbuang.

Kulkas

Ada seekor Macan di dalam kulkas. Bagaimana cara memasukkan Gajah? Jawabannya: buka kulkasnya, keluarin Macannya, masukkin Gajahnya.

Lalu saya punya seekor Jerapah. Bagaimana cara memasukkannya ke dalam kulkas? Jawabannya: buka kulkasnya, keluarin Gajahnya, masukkin Jerapahnya.

Kemudian, saya punya seekor Beruang Kutub. Bagaimana cara memasukkan Beruang Kutub ke dalam kulkas, sementara di dalam kulkas ada seekor Jerapah? Jawabannya: buka kulkasnya, keluarin Jerapahnya, masukkin Beruang Kutubnya.

Tapi, sekarang saya punya seorang Perempuan Cantik dan Seksi. Bagaimana cara memasukkannya ke dalam kulkas, sedangkan di dalam kulkas ada seekor Beruang Kutub? Jawabannya: tidak ada.

Senin, 07 Oktober 2013

Tentang Perselingkuhan


Klau satu-satunya perempuan yang rela meninggalkan orangtuanya hanya untuk  seorang lelaki bernama Froi. Cinta mereka barangkali sebuah kutukan. Froi adalah seorang pengembara yang tak kenal rumah dan saudara. Sedangkan Klau, perempuan terhormat karena ayahnya seorang raja, di sebuah tempat beradab.

Entah bagaimana, mereka bertemu dan jatuh cinta. Tetapi cinta mereka terlarang. Tradisi masyarakat tempat Klau tinggal tak mengizinkan seseorang untuk jatuh cinta yang tak jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Semua masyarakat tahu, Froi adalah pengembara dekil dan kumuh. Selain itu, keluarga Klau tentu saja mengetahui hubungan mereka berdua.

Secara terang, tak ada satupun orang yang mendukung rasa cinta Klau.

Singkat cerita, Klau akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari tempat ia tinggal. Sebuah tempat yang ia bilang, “tak kenal arti cinta.” Klau meninggalkan tradisi serta keluarganya untuk ikut mengembara bersama Froi.

Klau merasa begitu bahagia tak terkira. Bertahun-tahun hidup bersama Froi, tak sedikitpun rasa bosan tumbuh di dadanya. Ditambah lagi, mereka kini mempunyai seorang putra bernama Grome. Hidup sederhana tak membuatnya sengsara. Kerluarga mereka malah terlihat seperti surga yang jatuh di padang pasir.

Hari demi hari berlalu. Grome mulai besar dan belajar bicara. Tapi Klau merasa ada yang tak baik-baik saja. Dirasanya Froi telah menyelingkuhinya. Entah perasaan itu timbul dari mana. Meski begitu, firasat Klau sangat kuat.

Belakangan, Klau memang melihat tanda-tanda tak biasa. Froi, lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta dan meninggalkan orangtua biologis serta sosialnya, tak menunjukkan tatapan mata cinta pada dirinya. Klau tahu betul bagaimana mata yang penuh cinta, mata yang menjadi alasan untuk lari dari rumah.

Betul saja, Klau akhirnya mendapati Froi tengah bercumbu dengan saudagar bernama Sofi, di tepi sebuah telaga. Klau marah sedemikian hebat. Dadanya berdetak keras, membuat air matanya mengucur deras. Ia tak menyangka, lelaki yang begitu ia cintai, malah mengianatinya.

Froi menyadari tindakannya diketahui Klau. Tapi Froi biasa saja. Ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa seolah-olah ia tak bersalah. Kemarahan dan air mata Klau tak juga membuat Froi meminta maaf. Sofi pun tak berbuat apa-apa. Hal tersebut membuat Klau benar-benar kecewa seperti pisau yang menancap di punggung, tembus ke jantung.

Karena merasa kemarahan dan tangisannya tak menghasilkan apa-apa, dengan dendam terang menyala, Klau mengambil segenggam kapak. Dipegangnya kapak itu kencang-kencang. Lalu diayunkannya ke arah leher Grome, anak hasil hubungannya dengan Froi, hingga badan-kepalanya terpisah.

Froi terperangah. Sofi hanya bisa menganga tak menyangka. Klau lebih memilih membunuh anaknya dari pada membunuh suami atau selingkuhan suaminya. Tapi keputusan Klau itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin meninggalkan suaminya, seperti ia meninggalkan budaya dan keluarganya. Ia hanya ingin hidup seorang diri, sebagaimana orang yang ia cinta menyelingkuhi dirinya.

Dark Sky

Hujannya turun
Deras sekali, membuat
Aku menggigil

Melatih Vokal dengan A, I, U, E dan O


Suara Anda kecil? Ketika duduk di belakang kelas, suara Anda tak terdengar kala memanggil dosen yang kurang aja? Atau Anda ingin meneriaki tukang bakso yang sudah lewat 50 meter? Jangan khawatir. Cobalah metode ini.

Pentama, Anda harus mengendurkan otot-otot yang dengan akibat kemacetan yang semakin tak tertanggulangi. Tak perlu yang terlalu berat. Cuku dengan lari atau loncat-loncat. Kedua, duduk berlisa dengan kaki tak bertumpuk. Pejamkan mata, kosongkan pikiran hadirkan keinginan hakiki yang Anda miliki. Ketiga, tark napas dari hidung, simpan di perut, keluarkan dari mulut. Terus hingga belasan kali.

Sekarang coba lafalkan huruf-huruf vokal di wabah ini, sesuai dengan tenda baca yang tersedia.

A: AAAA AAA A A A AA AA AA AA AAA AA AAA AA AAA A AAA A AAA AA A AA A A AAA AA A A A A A AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA................

I: I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I  I IIIIIIIIIIII IIIIIIIIIII IIIIIIIII IIIIIIIII IIIIIII IIIIIII IIIIII IIIIIII IIIIII IIIIIIIIII IIIIIIIIIII IIIIIIIIIII IIIIIIIIIIII IIIIIIIIIII IIIIIIIIIIII IIIIIIIIIIIIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII III IIII IIII IIII IIII I I I I I I I I I I I  I I I I I I I I I I I I I I IIII II II II II I II II II II II II II III III III III IIIIIIIII I IIIIII I IIIIII I IIIIII I IIIIIIIII I IIIIII I IIIIIII I I IIIIIIIIIIII I IIIIIIII I IIIIIIIII I IIIIIIIIIIIIII I IIIIIIIIIIIII I IIIIIIIIIIII!!!! IIII... III... III...

UU: UUU... UUU... UUU... UUU... UUUU.... UUUU... U.... UUU UUU UUU UU UUU UUU UUU UUU UUU UU UU UU UU UU UUUUUUUUUUU UUUUUUUUUUUUUUUU UUUUUUUUUUUUU UUUUUUUUUUUU UUUUUUUU UUUUUUUUUUUUU UUUUUUUUUUU UUUUUUUUUU UUUUUUUUUUU UUUUU UUUUUUU UUUUU U U U  U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U U..

E: E E E E.... E E E E... E E E E.. E E E. E. E. E. E. E. E. E. E. E. E. E. E. E. E.... E. E. E. E. E. E. E. E. E. E. EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE..................  EEEEEEEEEEEEE...... E, E, E, E.... E. E. E. E. E!! E!! E!! E!! E!! EEEEEEEEEE........ EEEEEEEEEEEEEE......... E.............. EEEEEEEEEEEEE.... EEEEEEEEEE.

O: OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO................... O......... O........ OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO. O. O. O. O. O. O. O. O. O. O. O. O. O. O. O...... O......... O............... O.......... OOO... OOO... OOO... OOO... OOO... O!

Ini adalah metode penghancuran vokal. Usahakan selalu diucapkan dengan tanda bahasa yang tepat. Perlahan suara akan hilang dan kembali dengan lebih keras. Ingat, tarik napas, simpan di perut, buang dengan lafal di atas.

Selamat Mencoba.