Laman

Sabtu, 10 November 2012

Tarian Perpisahan

Saya berada di sebuah ruangan kaca. Bening sekaligus hening. Ada yang tertinggal di luar sana sebelum langit pecah. Arloji yang berdegup, redup. Dilemparnya gumpalan kertas oleh Boneka Kelinci berwarna putih, memantul jatuh berserak di ruangan hampa berbentuk kaca.

Saya menari telanjang, menikmati ular-ular yang menggelayut di setiap lekuk tubuh. Dipetakannya juga luka-luka yang tak utuh. Matahari yang tepat berada di bawah kaki, membiarkan saya menari, mengundi hidup atau mati. Tak kunjung pepat.

Gumpalan kertas itu belum juga berhenti. Tiap pantulnya mengandung bunyi, melesap menyatu dengan diri. Boneka Kelinci yang belum juga mati, sesekali menyalak tak terperi: menyaksikan saya yang masih juga mengundi hidup atau mati.

Merayakan Akhir Pekan


Sabtu yang cerah berawan. Berjuta orang menyiasati keadaan untuk nanti malam. Djakarta Artmosphere adalah satu dari sejuta pilihan untuk menghabiskan malam ini. Atau bisa juga kita merapatkan diri di atas Fly over Pasar Rebo sambil memandangi hiruk pikuk pinggiran kota bersama pujaan hati.

Hotel melati selalu menawarkat paket-paket menggoda. Short time, long time or whatever. Singkat padat dan tepat. Namun adapula beberapa muda-mudi yang menolak paket-paket tersebut. Tercetuslah ide cumbu missal disekitar STEKPI, Kalibata. Semua sekedar seks. Tak lebih.

Diantara ribuan lampu kota yang menyala malam nanti. Akan ada puluhan atau ratusan hati yang kosong. Membuka cerita dengan kawan, bersulang, atau melinting dedaunan yang memabukkan. Pilihan terbaik dan terburuk. Terserah, rayakanlah.

Konservatif


Ilustrasi: blogspot.com

Senja menghilang, malam datang, permainan kartu dimulai. Seperti yang sudah-sudah, kopi dipesan, rokok dinyalakan. Namun sungguh sayang, permainan tak berkembang. Tak ada Poker, tak ada Remi. Yang ada hanyalah Tepok Nyamuk, Cangkulan, dan 41. Payah. Tak berkembang.

Lagu dari The Adams yang berjudul ‘Konservatif’ dimainkan, seakan suasana saat itu langsung terlambangkan dalam lagu tersebut. “Dan kini telah gelas ke tiga, jam sembilan malam aku pulang,” begitulah liriknya, begitu pula suasana saat itu. Ingin pulang, tidur dan bermimpi indah.

Berita belum juga datang, permainan terus berjalan. Rasa bosan mulai melawan, permainan sudah tak menawan. Konservatif. Payah.

Sirine ambulan berlalu-lalang, malam tak kunjung berteman. Permainan semakin membisankan, kekalahan selalu datang, kegelisahan. Payah.

Permainan ditutup dengan setan. Saya berhenti menulis untuk makan. Setan, setelah makan menjadi setan. Ya, permainan setan.



Jakarta, sedang menunggu berita, November 2012