Jika Sir Dandy membuat lagu tentang Riko gitaris Mocca yang menjual
gitar kepadanya, saya akan membuat ulasan singkat tentang Riko, kawan saya yang
terobsesi menjadi rockstar.
Riko, lahir dan dibesarkan oleh keluarga seniman rumahan,
adalah seorang multi-instrumentalis kelas teri. Permainan musiknya biasa saja,
tidak seperti Riko gitaris Mocca band yang
terkenal itu. Riko, pemuda yang tak terlihat seperti anak muda, suka dengan
lagu-lagu lawas Indonesia. Koes Plus, Panbers adalah makanan sehari-harinya. Tidak
ada yang istimewa dari dirinya. Mungkin satu-satunya alasan yang membuat dia
nampak istimewa adalah pernah sekolah bersama dengan saya dan sempat membentuk band bersama.
Pada menginjak masa puber, saya, dia (Riko) dan satu lagi
teman saya berinisiatif membentuk sebuah grup band. Entah kapan tepatnya, saya pun lupa. The Vero, begitulah nama
band tersebut, yang terinspirasi oleh
seorang guru sekolah menengah kejuruan (SMK). Bersumber pada kehidupan anak
muda pada saat itu yang mulai memuja (lagi) rock
and roll, kami pun terbawa untuk memainkannya dengan berbekal kemampuan Riko
sebagai multi-instrumentalis kelas teri.
Awal terbentuknya band ini hanya untuk mencari kesenangan. Pun
sampai pada akhirnya –meski band ini
belum berakhir– kesenangan itu tak pernah terdapatkan. Secara musikalitas, band ini memang tidak ada apa-apanya. Karena
tidak pernah memiliki lagu sendiri yang pernah direkam, musikalitas band ini pun tidak pernah diketahui
sampai saat ini. Hanya berkat bantuan fans
fanatiklah –yang adalah teman dekat kami- yang membuat The Vero, yang saat
ini telah berganti nama menjadi Backside Terror, tetap bertahan. Namun
betapapun tidak pernah berkembangnya Backside Terror, impian Riko yang ingin
menjadi rockstar mungkin masih belum
terpatahkan.
Setelah kami lulus sekolah menengah, jarang sekali masuk
studio untuk sekedar melenturkan jari tangan. Keterbatasan waktu untuk
berkumpul menjadi penghalang. Intensitas pertemuan hanya terpakai untuk
menikmati minuman lokal anti-kapitalis asing. Perlahan, Riko menjadi muram
karena bakatnya tak lagi tersalurkan.
Sampai pada klimaksnya, Riko menyadari bahwa untuk menjadi rockstar tidak semudah menjadi orang
gila. Mungkin sedikit kisah cinta yang mengguncang jiwanya mempunyai efek yang
tak bisa disepelekan. Masalah datang silih berganti. Hidup Riko terlihat rapuh,
cenderung lembek. Hari-harinya hanya menjadi pekerja sosial (belum sebulan
kerja dan belum dapat gaji, lantas keluar). Realita tak seindah impian yang
dibayangkan.
Pada akhirnya, obsesi menjadi rockstar pun berganti menjadi orang gila yang bebas. “Orang gila
mah bebas...” begitulah kata-katanya setiap kali ada teman yang
mempermasalahkan perilakunya. Entah apa yang dipikirkannya tentang orang gila. Mungkin
saja dia telah menyadari realita yang ternyata sangat berbanding terbalik
dengan apa yang diimpikannya. Mungkin kehidupan dunia perkuliahan yang kini digeluti
perlahan membuatnya kehilangan arah. Atau mungkin, menjadi orang gila adalah
sebuah proses untuk menjadi rockstar
yang sebenarnya. Apapun itu, hanya Riko yang mampu menjawabnya. “Semakin gila
jiwamu,semakin banyak yang tertarik padamu,” begitulah salah satu kalimat
saktinya.
GOKSSSSSSSSSSSSSSSSSSS
BalasHapussemangat gan nulis nya haha