Laman

Selasa, 08 Juli 2014

Menghadirkan Masa Lalu di Masa Kini

LELAKI di depan saya tak mengerti bagaimana mungkin namanya berasal dari nama mantan pacar ibunya. Lebih dari itu, ia tak mengerti mengapa ayahnya menyetujui nama tersebut. Ia mengetahui kenyataan itu dari cerita ibunya.

Yang menarik, saat si ibu bercerita, ibunya menunjukkan foto mantan pacarnya itu kepadanya. Tak hanya itu, si ibu juga menunjukkan foto mantan pacar ayahnya. Jadi, si ibu tak hanya menyimpan rekaman masa lalu dirinya, tapi juga menyimpan rekaman masa lalu ayahnya.

Teman saya itu mengaku tak memahami bagaimana cara berpikir orang tuanya dalam memandang masa lalu. Jika ayahnya lelaki biasa, tentu ia merasa ada yang tak baik-baik saja ketika istrinya memberi nama anaknya dengan nama mantan pacar si istri. Apa lagi, itu dilakukan menggunakan kesadaran penuh, juga dengan kejujuran mengungkapkan bahwa nama tersebut adalah nama mantan pacarnya.

Ibu teman saya juga tampak tak seperti perempuan biasa. Itu karena ia menyimpan foto mantan pacarnya dan foto mantan pacar suaminya sekaligus. Entah apa yang ada di pikirannya. Ketika saya tanyakan pada teman saya, ia tak tahu.

Saya mengatakan kepada teman saya, hal tersebut menandakan, ibunya tak membiarkan masa silam dirinya dan suaminya berlalu dan terlupakan. Sebab, menyimpan foto mantan pacarnya dan mantan pacar suaminya adalah usaha mengekalkan masa lalu. Dan menyamakan nama anak dengan nama mantan pacar adalah menghidupkan masa lalu itu di masa kini.

Teman saya tak tahu-menahu hal yang sebenarnya. Yang jelas, teman saya itu menceritakan hal tersebut dengan nada melawak. Wajahnya tampak biasa-biasa saja. Ia tak melihat ada masalah dari fakta di balik namanya. Tapi ia tertarik menggali lebih dalam pemikiran orang tuanya.


Day 10

Penjajah Itu Masih Ada

Buku sejarah pendidikan kita mengajarkan bahwa bangsa kita telah merdeka sejak tahun 1945, dan secara penuh diakui kedaulatannya pada tahun 1949 saat Belanda mengakui kemerdekaan. Lantas, apa sesungguhnya arti merdeka itu?

Saya tak hendak mengutip kamus besar bahasa Indonesia untuk menafsirkan kata merdeka. Namun saya ingin kembali menceritakan bagai mana Nyai Ontosoroh melawan.

Kalian ingan sosok Nyai Ontosoroh pada cerita saya sebelum ini? Ia berjuang menghadapi pengadilan Hindia-Belanda untuk mendapatkan haknya, Annelies dan perusahaan yang selama ini ia kembangkan dengan jerih payahnya.

Tampil sebagai pribumi yang menjadi korban, Nyai mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang di dalam persidangan. Cap ‘nyai’ memang selalu diidentikan dengan keluarga amoral. Nyai tak lebih dari gundik seorang totok, yang melulu diasosiasikan dengan seks dan kelamin. Ontosoroh pun tak lepas dari stereotip itu. Meski ia cerdas.

Bukan kekalahan Nyai di pengadilan yang ingin saya terangkan. Karena kalah itu sudah pasti. Nayai hanya ingin melawan. Namun, sikap hakim pengadilan yang memandang Nyai sebagai binatang yang menjadi persoalan.

Hakim melulu membuat pertanyaan yang sifatnya privasi dan konyol, yang jelas tak ada hubungannya dengan kasus yang dipersidangkan, hanya mencari pembenaran untuk menjadikan si korban dipandang amoral.

Cerita itu ditulis Pram dengan tegas saat berada di pulau Buru, saat menjadi tapol akibat dituduh. Dengan menggunakan latar penjajahan kolonial, Pram mengajak kita membaca sejarah dengan tidak kaku, dengan segala rasanya. Ia ingin menunjukkan bahwa penjajahan belum usai.

Jika kalian berpikir penjajah hanya bangsa ini hanya berwujud tinggi besar seperti Kompeni atau pendek, sipit dan teratur seperti tentara Jepang, maka ada yang salah dengan penafsiran kita akan kemerdekaan.

Semalam, kabar penjajahan datang lagi. Kabar yang dateng ketika media tak disiplin melakukan verifikasi.i Kabar yang datang dari sebuah blog, dari sebuah cerita dengan segala rasanya, tentang pemerkosaan.
YF, korban pemerkosaan oleh petugas TransJakarta, telah menjalani persidangan sampai tahap penuntutan. Proses pencarian bukti dilakukan YF sendirian. Ia berpengan teguh pada keyakinannya, bahwa ia telah diperkosa. Dan ia harus melawan.

Namun perlawanan, tek selamanya mudah seperti ucapan seorang motavitor terkenal. Perlawanan menghabiskan waktu, energi dan, terdakang, cemoohan.

Saya akan menyampaikan petikan pertanyaan yang dilakukan oleh hakim  dan pengacara terdakwa kepada korban;

“Saudari, pakai BH warna apa hari itu?”

“Sudah tau gampang sakit, kenapa naik kendaraan umum sendirian? Kenapa ga ditemani?”

“Saudari kan orang Aceh. Berarti muslim ya. Apa boleh seorang wanita muslim pakaiannya seperti itu?”

“Saudari kan orang berpendidikan ya? Kok orang berpendidikan kerja pakai celana pendek?

“Benarkah saudari saat itu sedang hamil dari laki-laki yang bukan suami saudari?”

“Saya mau lihat, seberapa pendek celana itu di kaki kamu.” Kebetulan celana dan baju YF dijadikan barang bukti karena ada noda sperma di pakaian tersebut. Permintaan absurd ini ditolak hakim. Bagaimana dengan jaksa? Jaksa diam saja. Saat terdakwa diizinkan untuk bertanya langsung kepada YF pun jaksa tidak mengajukan keberatan.ii

Pertanyaan yang melecehkan dan sungguh, tak ada sangkutpautnya dengan kasus yang disidangkan.

Epilog
Suatu hari, saya menonton ujian sidang teman saya untuk mendapatkan gelar sarjananya. Teman saya ini perempuan dan sudah menikah. Anaknya baru satu, dan lucu.

Saya ingat sekenanya, pertanyaan sang penguji setelah permasalahan pokok selesai dipertanggungjawabkan, “Anak kamu sekarang umurnya berapa tahun?”

“Tiga tahun, Pak,” jawab teman saya.

“Oh sudah besar ya. Sekarang lagi ngapain dia?”

“Kayaknya sih lagi tidur di rumah sama bapaknya.”

“Sekarang bapaknya yang ngelonin. Nanti malem kamu gantian ngelonin bapaknya. Hahaha..”

Dua penguji yang lain ikut tertawa. Saya diam melihat raut muka teman saya yang tak senang.

Apa masih layak kita menyebut bangsa ini merdeka?

Catatan: