Laman

Jumat, 04 Juli 2014

Tentang Garuda Merah dan Bahaya yang Ada di Depan Mata

SPEEDOMETER motor saya berada di angka 80 kilometer perjam. Itu terlalu cepat buat saya, orang yang begitu hati-hati dan tak pernah sekalipun jatuh saat mengendarai motor. Sore itu jalan raya sepi dan motor saya berlari kencang karena dipicu rasa semangat menemui pacar.

Tapi ada yang membuat saya melambatkan kecepatan. Di iklim kampanye dan waktu menjelang pemilu seperti ini, segala cara digunakan guna mencitrakan diri -- kalau tak tepat disebut mempromosikan diri. Karena itu, pandangan saya disesaki berbagai spanduk, baligo, serta stiker bergambar salah satu capres-cawapres. Yang menarik perhatian hingga membuat saya melambatkan motor adalah gambar burung garuda berwarna merah dengan background putih.

Logo itu ada pada spanduk dan baligo besar di pinggir-pinggir jalan. Tak jarang juga, ada di helm dan motor banyak orang. Kita tentu tahu garuda merah berlatar putih itu mengasosiasikan pada nomor urut satu, Prabowo-Hatta, bahkan bila gambar itu tak diperkuat dengan kata-kata.

Itu karena seorang bajingan bernama Ahmad Dhani. Di televisi, pada sebuah iklan, Dhani bersama kawan-kawannya menggunakan burung garuda sambil menyanyikan lagu "We Will Rock You" milik Queen yang diubah liriknya guna mendukung Prahara (Prabowo-Hatta Rajasa). Lebih dari itu, karena Dhani ingin menjadi lebih berengsek lagi, ia pun menggunakan baju tentara NAZI di video tersebut. Alhasil, kampanye itu mendapat predikat dari TIMES sebagai kampanye teburuk sepanjang masa.

Sambil terus memacu motor, saya melihat-lihat garuda merah itu. Lalu saya teringat pada sebuah undang-undang negara. Saya lupa undang-undang tersebut bagaimana. Tapi anda bisa mencarinya di google. Undang-undang itu mengatakan, menggunakan burung garuda (simbol negara) untuk kepentingan partai adalah tindakan pidana. Itu artinya, Ahmad Dhani atau mungkin tim sukses Prahara telah melanggar hukum.

Saya tak sedang memojokkan Prahara. Toh, saya juga tak suka si kerempeng Jokowi. Yes, saya tak memilih. Saya tak akan datang ke TPS. Jika anda berpikir bahwa sikap saya adalah sebuah kesalahan karena suara saya mungkin akan disalahgunakan, itu berarti mitos yang dibangun media massa sudah melekat di kepala anda. Bukankah yang menyebarkan kabar terbsebut adalah media?

Hmmm... Namun sekalipun itu bukan mitos, yang seharusnya dilakukan media bukanlah mengajak orang-orang untuk tidak golput. Tetapi mengkritisi KPU karena kecolongan: terjadi penyalahgunaan kertas suara. Bila yang dituntut media adalah orang-orang golput, itu terkesan bahwa penyalahgunaan adalah hal yang wajar.

Ah sudahlah, lebih baik saya kembali memacu sepeda motor karena saya sudah sangat merindukan pacar.

Dengan kecepatan normal dan mengabaikan segala bentuk kampanye di pinggir jalan, saya bernyanyi santai. Jalan raya hanya ada beberapa mobil dan motor saja. Tetapi, ada yang menarik ketika saya harus berhenti di depan rel karena bunyi alarm tanda kereta segera lewat.


Saat itu, palang portal rel kereta pelan-pelan turun. Beberapa motor tetap bandel, nyelonong saja, tak sabar menunggu kereta lewat. Satu mobil pun coba melakukan itu. Tetapi ia ragu-ragu. Karena kereta sudah hampir lewat, ia pun mau tak mau behenti tepat di bawah palang portal yang bergerak turun. Terjepitlah mobil itu!

Saya tak tahu apa arti hari ini bagi diri saya. Singkat cerita, akhirnya saya sampai di tempat pacar. Hal pertama yang saya lakukan bukanlah memeluk atau menciumnya, tapi mengisahkan semua pengalaman tadi kepadanya, berharap ia menawarkan pemaknaan untuk hari saya.

Namun sialnya, belum selesai saya kisahkan semua, saya menyadari: televisi di depan kami sedang menayangkan Aa Gym di TvOne. Aa tengah berbicara mengenai pemimpin dari sudut pandang Islam. Kita tentu tahu TvOne memiliki haluan kemana, dan Aa Gym berpihak kepada siapa. Saya lalu meminta pacar saya mematikan televisi.

Saya pun teringat dengan status facebook seorang kawan. Di status itu, ia menganjurkan agar tidak golput. Sebab, "bahaya ada di depan mata," tulisnya.




Day 6

Petasan dan Ramdhan



Ramadhan tiba. Menurut pak ustad dekat rumah saya, di bulan ramadhan setan-setan akan dikurung demi menjaga kesucian bulan ini. Saya turut mengamini, karena selama bertahun-tahun berpuasa, saya belum melihat penampakan setan ataupun sekutunya di bulan puasa. Sungguh. Di era pandemonic seperti sekarang ini, ssetan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan. Mungkin mereka hanya bisa ditemui di lokasi-lokasi uji nyali berhadiah jutaan rupiah. Itupun hanya kasat mata. Tak pernah lebih dari 10 detik.

Kesucian bulan ini cukup terlihat di wilayah rumah saya. Hampir sepanjang Galur hingga Tanah Tinggi tak ada lagi open bottle untuk Anggur merah, Ciu, ataupun berbagai jenis miras lainnya. Semua sudah tersimpan rapat, serapat perasan hatinya untukku. Namun kesucian bulan ini cukup terganggu dengan maraknya booth-booth petasan disepanjang jalan kampung yang membelah Galur hingga Kramat Sentiong. Booth semacam ini selalu ramai akan pembeli. Mayoritas pembelinya adalah anak dibawah umur yang suka akan hingar bingar ledakan. Adakah ini indikasi calon penerus bangsa khususnya di wilayah Tanah Tinggi dan sekitarnya hendak menjadi pengantin bom bunih diri yang kian marak terjadi? Entahlah.

Petasan dan ramadhan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Entah siapa yang memulai era ini. Yang jelas, keberadaan petasan sangat meresahkan. Ledakan demi ledakan bisa terjadi kapan saja. Saya seakan merasakan sketsa konflik mini ala Timur Tengah di wilayah yang super asri ini. Apalagi keadaan jantung saya saat ini sudah sangat lemah untuk menerima bebunyian keparat itu.

Harga yang murah menyebabkan semua orang bisa mengkonsumsi benda terkutuk itu. Satu bundel petasan korek misalnya, biasa dibandrol 7-10 ribu. Petasan ini menjadi favorit anak-anak, karena bisa diketeng. Filosofi bermain petasanpun cukup aneh menurut saya, jika Fc Barcelona menerapkan tiki-taka dalam permainannya, maka petasan biasanya lebih kepada sistem kick and rush. Bakar-ledak-dan senang. Saya mungkin terlalu awam untuk menikmati filosofi tersebut. Sungguh. Namun konsepsi kebahagiaan seseorang tak bisa ditakar dengan apapun. Jadi biarkan saja.

Sesungguhnya, memebeli petasan adalah sesuatu yang mubazir. Dan perbuatan mubazir adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan masih ada di bulan suci ini.

Mei

Ketakutan itu datang lagi. Kengiluan,
mungkin lebih tepatnya. Aku tak pernah
membayangkan perempuan yang usianya
baru menginjak angka tiga puluh itu
mempunyai lubang yang begitu dalam.
Segenggam kebencian
yang entah untuk siapa ditunjukan.

Pagi itu aku belum sempat tidur.
Bibirnya yang bertemu denganku
sejak senja kemarin masih juga bekerja.
Kadang ada getir yang kurasakan.
Kadang kengerian.
Dan, lagi-lagi, kengiluan.

Aku tak banyak menimpali gerak bibirnya
yang tak beraturan. Lebih banyak
tubuhku diam. Aku menikmati kebenciannya. Merah
yang tak kunjung padam. Perlahan,
bulu ronaku berdiri. Ketakutan itu datang lagi.

Di samping gambar Guevara, setelah solat subuh, 05.55