Malam, di sebuah
tempat nongkrong yang kedap cahaya, saya dan Bayu duduk di bangku terbuat
dari semen. Kami sedikit ngobrol santai soal kemacetan di Jakarta. Kemacetan:
alasan yang paling gampang untuk menganggap Jakarta adalah kota yang brengsek.
Kami sepakat
bahwa menggunakan jalan raya Jakarta membuat banyak waktu terbuang tak berguna.
Oleh karena itu, Bayu punya rencana untuk meninggalkan Jakarta. “Macet kayak
tolol,” katanya.
Di kota ini,
kemacetan memang sudah di mulai sejak depan pagar rumah anda. Mobil secepat
apapun tidak akan berguna di Jakarta. Saking macetnya, maka timbulah istilah “tua
di jalan”.
Kondisi macet
yang begitu parah ditambah cuaca panas dan debu-debu jalanan dengan sempurna membuat
kota ini semakin terasa seperti neraka. Pengendara motor terlihat seperti
ninja: hanya mata yang terlihat di wajah karena hidung dan mulutnya ditutup
untuk meredam debu. Untuk menghindari macet, tak jarang mereka “berlompatan”
naik ke trotoar-trotoar.
Pejalan kaki
(pengguna transportasi umum) juga menutup hidung dan mulutnya. Suatu pagi, di sebuah
kemacetan, saya melihat seorang laki-laki di dalam angkot. Ia masih menggunakan
masker, meski sudah duduk di dalam angkot. Hal itu membuat saya dapat melihat matanya
dengan jelas. Mata yang kosong, yang penuh dengan kepasrahan.
Pengguna mobil,
meski terlindung dari cuaca panas, sering medapatkan masalah spion patah karena
diserempet pengguna motor beringas yang muak dengan kemacetan.
Macet seringnya
berdampak pada psikologis. Keadaan jalan raya yang kacau tak jarang menimbulkan
perkelahian antar pengguna jalan. Selain itu, kelelahan yang dialami pasca
merasakan macet mengakibatkan orang gampang marah. Kalau pun tak marah,
sesampainya di rumah, seseorang tak bisa menggunakan waktu bersama keluarganya
secara baik.
Wajar jika
Jakarta akan dipenuhi oleh orang-orang gila.
Berjam-jam
kemacetan Jakarta, tak serta merta membuat orang-orang berpindah. Banyak orang
masih kompromi dengan hal tersebut karena alasan yang terdengar menyedihkan: “Mau
gimana lagi? Wong dapet kerjanya emang di sini.”
Salah satu faktor
penyebab kemacetan di Jakarta adalah mudahnya memiliki kendaraan bermotor. Dengan
kredit yang murah, orang dapat mempunyai kendaraan roda dua. Keingininan memliki
kendaraan pribadi disebabkan oleh buruknya transportasi publik.
Seorang bule
dalam tulisannya mengenai Jakarta berjudul “Kota Fasis yang Sempurna” mengatakan adanya
konspirasi antara industri otomotif dengan pemerintahan. Pemerintah sengaja tak
membenahi fasilitas umum termasuk transportasi publik, supaya orang-orang
membeli kendaraan bermotor.
Lebih parah lagi,
saya dengar, Boediono baru saja menyampaikan akan adanya penjualan mobil murah.
Kebijakan yang penuh kebohongan.
Seiring jalannya obrolan saya dengan Bayu, kami berandai-andai: jika saja di kemudian hari waktu mengalami macet di Jakarta akan lebih lama dari jam kerja, barangkali orang-orang akan mengatakan hal yang sama, “mau gimana lagi? Wong dapet kerjanya emang di sini.”