Kabarnya Tono menang lotre. Kabar tersebut disiarkan lewat
toa langgar yang berada tepat di pinggir lapangan merah dekat rumah Mak Iyem,
seorang dukun beranak yang dianggap sebagai sesepuh kampung. Warga kampung
serentak gempar, mencari-cari Tono, meminta mengadakan selametan untuk
keselamatan kampung dan para pemenang lotre. Sudah menjadi tradisi bila ada yang
menang lotre, maka ia harus mengadakan selametan berupa makan-makan agar
kehidupannya diberkahi.
Tono adalah pemuda biasa di kampung Coblos. Ayahnya pensiunan
kepala desa, namun Tono tak pernah mau kalau di suruh sekolah. Kesehariannya dihabiskan
dengan membajak sawah, memandikan kerbau, dan kalau ada waktu luang ia habiskan
untuk menggoda gadis-gadis berkerudung yang ingin berangkat ke langgar.
***
Meskipun tak pernah sekolah, Tono dikenal tidak suka main
lotre. Ia selalu menolak ketika diajak pasang lotre. Namun teman-temannya
selalu meminjam uang ketika mereka ingin pasang. Tono selalu meminjamkannya,
namun tak pernah ikutan.
“Lotre itu haram. Mending duitnya dipake untuk beli sabun
mandi si Acong, biar lebih bermanfaat,” selalu begitu ucapnya ketika
teman-temannya mengajaknya ke pos kamling untuk masang lotre.
“Lotre itu yang lebih bermanfaat, Ton. Kalau menang, bikin
selametan, bikin senang orang kampung,” ucap teman Tono.
“Iya, tapi pake... ”
“Yaudah, kalo gak mau ikut ya gak usah ceramah, gak usah
seperti yang paling suci. Pinjem duit aja sini, bulan depan aku ganti. Kamu urusin
Acong aja.”
Acong adalah teman bermain Tono sejak kecil. Ketika Tono
lahir, Mak Iyem diupahi sepasang kerbau oleh bapaknya Tono. Mak Iyem lantas
menghadiahi Tono seekor anak kerbau saat dirinya tepat berumur tujuh tahun. Semenjak
itu, Tono selalu bermain dengan Acong.
Acong menjadi alasan Tono untuk tidak bermain lotre. Pernah suatu
hari Tono bersama Acong pergi ke pos kamling untuk memasang lotre. Namun Acong
mendadak ngamuk. Orang-orang di pos pada berlarian tak tentu arah. Ada satu
satu orang yang tewas akibat insiden tersebut. Perutnya tertusuk tanduk Acong
yang masih tajam. Semenjak itu, Tono tak pernah berniat sekalipun untuk
memasang lotre.
Kampung Coblos memang terkenal dengan lotrenya. Sudah turun
temurun. Nenek moyang mereka mengajarkan untuk bermain lotre, agar hidup mereka
penuh dengan pengharapan kepada Tuhan. Setiap bulan, pasti warga kampung
menggelar selametan untuk memberi keberkahan kepada pemenang lotre. Semua
kegiatan lotre di kampung Coblos sudah menjadi tradisi. Tak ada yang berani
melarang, kecuali Acong yang hanya seekor binatang.
Di suatu malam, saat warga mulai merasa resah terhadap
kelakuan Acong, langit berwarna merah. Suara kodok dan jangkrik tenggelam dalam
suara peletikan api yang menyambar dari sebuah kandang kerbau, tempat di mana
Acong tinggal. Tono yang sedang tertidur lelap tak mengetahui apa yang terjadi.
Saat matahari datang, Tono menangis histeris kandang Acong sudah habis. Ia mencari
tulang belulang Acong, namun tak pernah ditemukan. Tidak ada seorang warga pun
yang mengetahui kejadian tersebut. Hanya ada satu saksi mata, Mak Iyem. Ia
melihat ribuan bayangan putih menyemburkan api, membakar kandang Acong. Tapi sebelum
membakar kandangnya, para bayangan putih itu membawa Acong terbang ke langit.
Tono tak percaya dengan ucapan Mak Iyem. Ia pergi ke kali
untuk menyendiri. Saat senja tiba, Tono terlihat berada di pos kamling memasang
lotre. Itu terakhir kalinya ia terlihat di kampung Coblos.
***
Ketika kegemparan warga kampung belum surut mengetahui Tono
menang lotre, burung camar membawa kabar bahwa ada mayat lebih dari sebulan
mengambang. Tono mati bunuh diri dengan tangan memegang golok yang menancap
dalam perutnya.