Di sore hari yang cerah, di kampus yang tercinta (huaaaaaaah….), saya sedang menikmati sebuah rokok putih yang hangat beserta
sebuah kopi hitam lokal terbaik. Tiba-tiba seorang kawan menghampiri dan
berkata. “ Rokok lu kayak orang kaya, kok ngopinya kopi item? Caphuchinno dong
harusnya,” sindirnya.
Lepas itu kami berbicara panjang lebar dan tentunya wasting time.
Keesokan harinya saya kembali membakar rokok putih dan
nongkrong bersama kawan-kawan professional
time waster, seorang dari mereka mengambil sebatang rokok putih saya dari
bungkusnya, “Ini rokoknya Noel (Noel Gallagher, gitaris dari grup Oasis) sama Cobain (Kurt Cobain, vokalis Nirvana), rokoknya musisi ini mah coy.” Saya hanya
tertawa.
Beberapa waktu yang lalu. Seorang teman menghampiri
dan saya yang sedang merokok rokok putih (lagi) kemudian membuangnya dari
hadapan saya, dan mengembalikannya. Orang tersebut adalah orang “yang katanya“ anti kapitalis.
Dari beberapa kasus di atas, dengan sok tahu saya akan
memberikan seedikit penjelasan.
Rokok Putih sering dibilang sebagai rokok orang kaya. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan stigma seperti itu.
Satu, rokok putih terlihat begitu ekslusif karena tak
bisa diketeng (dibeli secara satuan) di warung-warung kelontong. Sekalipun ada,
harganya akan lebih mahal (lima ribu rupiah, hanya dapat tujuh batang,
tanyakan pada warung di depan kampus
tercinta).
Dua, jikalau diketeng, hal itu akan mempengaruhi rasa
yang akan dihasilkan oleh rokok tersebut saat dibakar. Rokok putih akan terasa
hambar (tak enak) jika lama terkena angin. Beda dengan rokok lainnya. Yang semakin
terkena angin akan semakin enak. Karena pada dasarnya, rokok putih adalah rokok
yang terbuat dari kertas yang dicampur aroma saus tembakau.
Tiga, harga rokok putih yang mahal. Sudah barang tentu
hal inilah yang menyebabkan stigma tersebut muncul. Bandingkan dengan harga
rokok lainnya dipasaran. Jika kita membeli di warung kelontong modern (seperti Alfa dan kawan-kawannya), harga rokok putih mencapai Rp13.500 s/d Rp 20.000. Warung kelontong sederhana
biasanya hanya menjual beberapa jenis rokok putih. Dengan kisaran harga Rp14.000
s/d Rp15.000.
Keempat, mereka yang borjuis juga menjadi pihak yang
menyebabkan “pengeksklusifan” rokok jenis ini adalah rata rata mereka
menerapkan standar 4B (Blackberry, behel, belah tengah, black menthol). Hal terakhir
bisa jadi acuan. Rokok menthol biasanya menjadi ajang “eksistensi“ untuk para
perokok awam untuk sekedar bergaya dan tidak benar benar menyukai jenis rokok
tersebut.
Rokok putih dibilang rokok musisi luar negeri karena:
Satu, di luar negeri tidak ada rokok yang terbuat dari
tembakau. Karena ada perundang undangan tentang pelarangan pemakaian tembakau
pada sebuah rokok. Jelas saja Noel, Cobain atau siapapun tak pernah menghisap
jenis rokok lain selain rokok putih. Sekalipun ada rokok dari tembakau,
harganya pasti mahal.
Dua, Slash (eks gitaris Guns and Roses) sering
memainkan solo gitar seraya menghisap rokok (bisa dilihat di video Sweet Child of Mine). Mungkin hal inilah yang kerap menjadi sebuah acuan tersebut.
Tiga, Sebagian besar produsen rokok putih di negara tercinta
ini (Cuih…) berasal dari luar negeri.
Rokok putih juga sering di anggap sebagai produk kapitalis
karena berasal dari luar negeri. Namun sebagian besar rokok putih di Indonesia rata-rata sudah di produksi
di daerah daerah di Indonesia. Seperti Jakarta dan Bekasi. Apakah ini masih
disebut sebagai produk kapitalis? Lalu apa
kabar dengan celana jeans yang biasa kau pakai setiap hari? Apakah itu bukan
produk kapitalis yang selama ini kau benci?